Tradisi Merariq dan Bagaimana Ulama Perempuan Indonesia Melihat Tradisi ini?

Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan sebuah tayangan video yang memperlihatkan momen pernikahan antara anak perempuan berusia 14 tahun dan laki-laki usia 16 tahun di Nusa Tenggara Barat.

Melansir di BBC.com, sebelum pernikahan tersebut terjadi, pasangan ini sempat menjalani prosesi merariq, yaitu tradisi khas suku Sasak di Lombok, di mana pihak laki-laki “melarikan” calon istri sebagai bagian dari budaya pernikahan.

Dalam tradisi ini, biasanya laki-laki akan “membawa lari” atau “menculik” perempuan yang akan dinikahinya dan sudah disepakati secara diam-diam oleh kedua calon pengantin.

 

Apa Itu Tradisi Merariq?

Dikutip dari Kompas.co, Merariq dilakukan pada malam hari, dengan tahapan yang cukup rumit. Rangkaian dimulai saat calon pengantin laki-laki “menculik” si perempuan dari rumahnya. Waktu dan tempat biasanya sudah diatur dan disepakati oleh kedua calon pengantin. 

Kesepakatan ini dalam bahasa daerah suku Sasak disebut dengan Midang, yaitu fase pendekatan atau semacam “PDKT adat” yang dilakukan malam Kamis atau malam Minggu.

Setelah itu, masuk ke tahap merariq atau membawa lari calon istri ke rumah pihak laki-laki. Selanjutnya, ada fase Selabar dan Majetik, yaitu saat keluarga laki-laki datang melapor ke pihak perempuan bahwa merariq sudah terjadi dan meminta restu. 

Proses selanjutnya yaitu melakukan Ijab Kabul, Sorong Serah (serah terima pengantin) dan Nyongkolan, yaitu arak-arakan keluarga pengantin laki-laki ke rumah pihak perempuan sebagai penutup prosesi.

Dalam adat setempat, jika sudah “dibawa lari” dan tidak kembali dalam waktu 24 jam, maka pernikahan harus tetap dilanjutkan demi menjaga nama baik keluarga. Tak peduli apakah perempuan tersebut mau atau tidak, sudah cukup umur atau belum. 

Kasus pernikahan anak yang sempat viral tersebut sebetulnya bukan merupakan hal baru di NTB. Pasalnya, selama sepuluh tahun terakhir pemerintah pusat telah menjadikan NTB sebagai wilayah sasaran program pencegahan perkawinan anak karena angkanya masih tinggi. 

Tidak hanya pemerintah, banyak Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau lembaga lainnya yang fokus pada perlindungan anak juga melakukan pendampingan dan pemberdayaan di NTB.

Maraknya kasus perkawinan anak di NTB menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di sana masih belum memahami tentang bahaya, resiko, dan dampak dari perkawinan anak. 

Padahal, seperti dalam catatan Komnas Perempuan, perkawinan di bawah umur dapat membahayakan anak perempuan. Di antaranya ialah anak menjadi lebih rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), komplikasi saat kehamilan dan melahirkan, kemiskinan, putus sekolah, dan juga perceraian.

Oleh karena itu, tradisi-tradisi yang melanggengkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan penting ditinggalkan. Sebab, selain bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, praktik ini juga tidak sejalan dengan ajaran Islam, karena dapat mendatangkan banyak mafsadat.

 

Pandangan KUPI tentang Pernikahan Anak

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) merespon kasus perkawinan anak melalui salah satu hasil musyawarah keagamaan atau fatwa dalam KUPI 1 tentang perlindungan perempuan dari bahaya perkawinan anak. 

Fatwa KUPI mengatakan bahwa pernikahan anak justru menimbulkan banyak Mudharat atau dampak negatif, penderitaan dan ketidaknyamanan hidup. Terutama pada anak perempuan yang dinikahkan dan pada anak-anak yang dilahirkan di kemudian hari.

Oleh karena itu, KUPI mendorong semua pihak, baik keluarga, masyarakat dan negara untuk melindungi anak perempuan dari bahaya perkawinan anak. Sebagaimana kaidah fiqh menyebutkan bahwa “adl-dlararu yuzaalu suatu kemadlaratan harus dihilangkan.

Mencegah pernikahan anak juga merupakan cerminan dari prinsip Islam untuk tidak menzalimi seseorang dengan perbuatan yang akan menjerumuskannya pada penderitaan. 

Sebagaimana disebutkan dalam hadis Bukhari no. 2482 yang artinya “Seorang muslim adalah saudara untuk muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, maka niscaya Allah akan menghilangkan kesusahan-kesusahannya pada hari Kiamat dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat.” (Riwayat Bukhari dalam Shahiih-nya, no. 2482 dan Muslim dalam Shahiih-nya, no. 6743).

Teks hadis ini menegaskan bahwa sebagai sesama saudara, kita tidak boleh menzalimi, atau menjerumsukan orang lain pada penderitaan. Artinya, Nabi Muhammad SAW menugaskan seluruh umatnya untuk menolong serta melindungi orang lain dari jurang penderitaan. Dalam konteks ini ialah anak-anak dari bahaya perkawinan di bawah umur. 

Masih dalam nafas yang sama, melindungi anak dari bahaya perkawinan di bawah umur juga merupakan implementasi hadis kasih sayang yang diriwayatkan oleh Turmudzi, no.2049 kepada anak agar terhindar dari penderitaan dan kesusahan hidup.

Teks hadis ini juga secara umum meminta semua umat Muslim, baik sebagai orang tua, masyarakat, maupun negara untuk memastikan anak tidak terjebak pada pernikahan yang akan membuatnya susah dan menderita.

Berlandaskan prinsip-prinsip Islam tersebut, KUPI memberikan tiga sikap dan pandangan keagamaannya. Pertama, dalam fatwa KUPI, mencegah pernikahan anak hukumnya wajib karena pernikahan tersebut lebih banyak menimbulkan mafsadat atau dampak buruk, ketimbang manfaat. 

Kedua, KUPI juga mendorong semua pihak untuk melakukan pencegahan pernikahan anak. Baik pihak keluarga, masyarakat, dan juga negara. Ketiga, menolong serta melindungi anak korban perkawinan di bawah umur dengan memastikan hak-haknya tetap terpenuhi seperti hak pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Tiga pandangan KUPI ini penting dijadikan pedoman oleh masyarakat yang masih mempertahankan tradisi-tradisi yang melanggengkan praktik perkawinan anak agar dapat menjaga anak perempuan dari berbagai bentuk kekerasan.

Jika semua elemen masyarakat bekerjasama dalam pencegahan perkawinan anak, maka besar kemungkinan Indonesia akan memiliki banyak anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik. Berdaya secara intelektual, emosional, spiritual, dan finansial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *