Saparinah Sadli adalah salah satu penggerak dan pejuang gerakan perempuan di Indonesia. Ia lahir di Tegalsari, Jawa Tengah, pada 24 Agustus 1927. Sejak kecil, Saparinah tumbuh di lingkungan priyayi kelas atas, sebab sang ayah pernah menjabat sebagai Bupati Kudus.
Lingkungan keluarganya sangat menjunjung tinggi tata krama dan pendidikan, namun tidak lepas dari nilai-nilai konservatif yang masih membatasi peran perempuan. Sebagai perempuan, Saparinah kecil sempat mengalami perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan saudara laki-lakinya.
Ia kurang mendapat kebebasan dari sang ayah untuk mengerjakan banyak hal, termasuk dalam pilihan pendidikan dan kebebasan sosial. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan pribadinya untuk tumbuh menjadi sosok perempuan yang terbuka dan pemberani.
Pada tahun 1989, Saparinah merintis Program Studi Kajian Wanita (PSKW) di Universitas Indonesia, yang menjadi pusat kajian isu perempuan pertama di Indonesia. Kini, program ini dikenal sebagai Pusat Kajian Gender dan Seksualitas.
Sejak November 1990 hingga Mei 2000, Saparinah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin program studi tersebut. Kajian perempuan merupakan fenomena global yang berkembang pesat sejak tahun 1960-an, terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Saparinah telah menelaahnya secara mendalam melalui esai berjudul “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya.”
Dalam esai tersebut, menguraikan berbagai pro dan kontra perkembangan kajian perempuan, seperti kekhawatiran bahwa perjuangan memajukan nasib perempuan akan tenggelam dalam perdebatan akademik semata, hingga pandangan optimis tentang kajian perempuan sebagai upaya merefleksikan pengalaman perempuan yang beragam di berbagai lini kehidupan.
Dari ruang akademik, perjuangan Saparinah terus berlanjut ke ranah advokasi publik, terutama saat Indonesia menghadapi masa-masa genting menjelang reformasi.
“Saya awalnya ada di Komnas HAM. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, saya ditarik oleh aktivis-aktivis perempuan untuk ikut serta dalam perjuangan mereka. Saat itu muncul berita tentang pemerkosaan di tengah-tengah kerusuhan. Saya mendengar sendiri dokter-dokter yang membantu para korban ngomong, ‘Ibu jangan bilang siapapun kalau ketemu saya.’ Mereka takut diintimidasi. Waktu itu ada banyak pihak yang menyangkal dan menganggap bahwa pemerkosaan itu ‘hanya dugaan.’ Alasannya, kalau korban tidak dimunculkan, artinya tidak valid. Saya marah. Karena ketika saya menemui korban dan pendamping, mereka begitu trauma hingga memilih melupakan dan tidak mau ditanya-tanya lagi. Saya menghormati pilihan mereka.” Cerita Saparinah Sadli dalam Dialog Terbuka Menguak Tabir Mei 98 pada 17/05/2014.
Atas kejadian itu, Ia kemudian berdiri paling depan bersama beberapa rekannya menghadap Presiden BJ. Habibie, didampingi Penasehat Militer Presiden dan Panglima TNI pada saat itu. Saparinah mendesak pemerintah agar mengakui dan meminta maaf atas terjadinya pemerkosaan massal dalam Kerusuhan Mei 1998.
Mendengar laporan tersebut, Penasihat Militer Presiden dan Panglima TNI saat itu merespons dengan nada marah, menganggap laporan para aktivis sebagai kebohongan dan sesuatu yang tidak nyata. Namun, Presiden B.J. Habibie saat itu memilih untuk mempercayai laporan mengenai pemerkosaan massal yang terjadi. Desakan itu membuahkan hasil: pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dengan kekerasan seksual menjadi bagian integral yang harus diusut.
Setelahnya, Saparinah menginisiasi pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan atau Komnas Perempuan pada Oktober 1998, yang disahkan Presiden lewat Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998. Komisi ini menjadi satu-satunya komisi nasional di dunia yang secara spesifik memperjuangkan hak-hak perempuan agar terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Saparinah kemudian menjadi ketua pertama Komnas Perempuan hingga tahun 2004. Perjalanannya tidak semudah yang dibayangkan. Tantangan demi tantangan dihadapi oleh Saparinah bersama para aktivis perempuan lainnya, namun langkah mereka menjadi bagian penting dalam menegakkan keadilan bagi para korban dan membangun fondasi perlindungan perempuan di Indonesia. Meski telah menuntaskan banyak tonggak penting dalam perjuangan hak perempuan, Saparinah tak lantas berhenti berkarya.
Usia Senja Tetap Berdaya
Saat tulisan ini dibuat, Saparinah Sadli telah berusia 98 tahun, namun semangat dan kiprahnya bagi gerakan feminis di Indonesia tetap menginspirasi. Ia masih aktif dalam seminar, pendidikan publik, menulis buku, dan terus mengikuti isu-isu perempuan terkini. Saparinah juga menginisiasi komunitas Sahabat Lansia Tangguh dan mengusung kota ramah lansia.
Ia menyadari bahwa kemunduran fisik dan mental adalah hal normal pada usia lanjut. Lansia tetap bisa tampil rapi dengan memilih busana yang nyaman dan memancarkan energi yang menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lansia yang sehat dan produktif memiliki kesempatan untuk tetap mandiri dan merasakan kebebasan dalam kehidupannya.
Tidak sedikit perempuan lansia yang masih mengelola toko kue, menjadi pendidik, pengurus yayasan, penulis, atau konselor. Aktivitas ini tidak lagi semata-mata tentang pundi rupiah, tetapi menjadi sumber kepuasaan batin, cara mengusir kepenatan dan kebosanan, serta menjaga semangat hidup yang justru menjadi nilai penting pada lansia.
Tentu perjuangan successful agers tidaklah mudah, namun Saparinah mengingatkan bahwa perempuan perlu mengembangkan kemandirian dan kekuatan batin (inner strength) yang akan terus dibawa hingga lansia. Menurut Saparinah memaknai perempuan lansia tangguh bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mendengarkan dan menyuarakan pengalaman yang dapat menginspirasi lansia lain, baik perempuan maupun laki-laki. Mengangkat cerita-cerita positif dari para lansia yang tetap aktif dan berdaya adalah salah satu cara untuk mendorong lansia lain agar tidak menyerah pada keadaan.
Melalui tulisan dan aktivitas sosialnya, Saparinah ingin mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa tidak ada satu resep baku dalam menjalani hidup sebagai lansia yang tangguh. Ketangguhan itu lahir dari diri sendiri, dengan kemauan untuk belajar hal-hal baru, berpartisipasi dalam aktivitas sosial, serta mau mengikuti aktivitas yang tersedia di lingkungan sekitar. Itulah nilai penting yang terus diperjuangkan Saparinah di usianya kini, agar setiap lansia dapat hidup bermakna dan tetap merasa memiliki peran di lingkungan masyarakat.