AMAN Indonesia bersama BNPT RI Berbagi Praktik Baik Tangkal Ekstremisme Kekerasan di Forum Internasional Kenya

AMAN Indonesia mewakili organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dari Indonesia, Kenya, dan Nigeria berkumpul dalam program pembelajaran lintas negara bertajuk Cross Countries Peer to Peer Learning on Preventing / Countering Violent Extremism (PCVE) yang berlangsung pada 25 Januari hingga 4 Februari 2025. Kegiatan ini digelar di dua lokasi utama, yakni Pride Inn Hotel di Nairobi dan Voyager Hotel di Mombasa, Kenya.

Dwi Rubiyanti Kholifah, country representative AMAN Indonesia dan Andhika Chrisnayudhanto selaku Deputi Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, didukung oleh Joint Strategic Religious Action (JISRA) menjadi delegasi Indonesia untuk hadir dan berbagi praktik baik pencegahan dan penanganan ekstremisme kekerasan di Indonesia. 

Forum ini bertujuan untuk saling bertukar pengalaman dalam mengembangkan strategi pelibatan masyarakat lokal dalam pencegahan ekstremisme kekerasan, sekaligus menyoroti pendekatan yang dijalankan oleh masing-masing negara.

Dalam konteks Indonesia, ekstremisme kekerasan kini tidak lagi hanya muncul di ruang publik, tetapi juga merambah ke ruang domestik. Perempuan dan anak muda kini tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku, seiring meningkatnya akses terhadap konten ekstremis di media sosial dan platform digital. Konsep jihad pun telah mengalami pergeseran dari yang bersifat kolektif dan terorganisir (jihad tandhim), menjadi individual dan spontan (jihad fardiyah), yang membuka peluang perekrutan tanpa batas gender.

Sementara di Kenya, kelompok seperti al-Shabaab memanfaatkan kemiskinan struktural untuk merekrut anggota, termasuk melalui praktik pernikahan paksa terhadap anak perempuan yang kemudian menghilang tanpa jejak. Di wilayah seperti Kwali, proses radikalisasi bahkan menyusup ke sekolah-sekolah, di mana guru berpaham ekstremis menyebarkan nilai misoginis dan mendiskreditkan peran perempuan.

Fenomena serupa juga terjadi di Nigeria dengan aksi penculikan anak-anak perempuan oleh Boko Haram. Para penyintas kekerasan seksual dari kelompok tersebut tidak hanya mengalami trauma, tetapi juga penolakan sosial saat kembali ke komunitasnya.

Baik Indonesia maupun Kenya telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk PVE. Kenya menerapkan pendekatan terpusat dengan koordinasi langsung oleh National Counter Terrorism Center (NCTC) ke tingkat daerah. Sebaliknya, Indonesia mengusung pendekatan desentralisasi, dengan pelibatan 48 kementerian/lembaga di bawah koordinasi Sekretariat Bersama RAN PE, serta kolaborasi erat dengan organisasi masyarakat sipil (OMS).

“Salah satu modalitas yang dimiliki Indonesia dalam pencegahan ekstremisme kekerasan ialah terbentuknya gerakan masyarakat sipil, Working Group on Women and P/CVE (WGWC) fokus pada isu PCVE dan masuk dalam jajaran struktur implementator kebijakan negara bersama pemerintah yang sudah berjalan selama 5 tahun terakhir,” tutur Roby Kholifah.   

WGWC tergabung dalam Kelompok Kerja Tematik (Pokja Tematis) Sekretariat Bersama RAN PE untuk memperkuat mainstreaming gender dalam PCVE dan pendekatan lintas sektor. Kesamaan kedua negara adalah komitmen untuk memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan strategis dan pemulihan pasca-konflik.

Forum ini juga mengapresiasi berbagai inisiatif dari OMS dan organisasi berbasis agama. Di Indonesia, inisiatif seperti Board Game for Peace dari Peace Generation berhasil mendorong pemikiran kritis dan kolaborasi di kalangan pemuda. Sementara Fatayat NU melalui Multistakeholder Forum dan AMAN Indonesia dengan program reintegrasi sosial menggunakan Reflective Structured Dialogue (RSD), memperlihatkan bagaimana pendekatan reflektif dapat memperkuat ketahanan komunitas.

Di Kenya, organisasi seperti Inter-Religious Council of Kenya (IRCK) dan Women of Faith aktif mempromosikan kebebasan beragama dan toleransi antarumat. Di Nigeria, gerakan seperti Justice, Peace, and Reconciliation Movement (JPRM) dan Development Initiative for West Africa (DIWA) bekerja sama dengan aktor keamanan lokal untuk memperkuat perdamaian komunitas.

Beberapa rekomendasi strategis untuk pemerintah dihasilkan dalam forum ini seperti, memperkuat perspektif gender dalam seluruh sistem P/CVE, termasuk dalam proses penegakan hukum, rehabilitasi, repatriasi, dan pemulihan korban. Selain itu, melakukan peninjauan ulang kebijakan untuk menjamin keberagaman, serta melindungi kelompok rentan dan minoritas penting dilakukan negara.

Pemerintah juga penting menyediakan dukungan psikososial jangka panjang bagi penyintas, serta membentuk dana bantuan dan lembaga perlindungan seperti LPSK di Indonesia. Terakhir, penting memastikan pengintegrasian Bangkok Rules untuk menjamin perlakuan manusiawi terhadap perempuan pelaku ekstremisme, serta menyediakan program rehabilitasi berbasis gender.

Sementara itu, organisasi masyarakat sipil juga diharapkan agar dapat memperluas ekosistem aksi kolektif melalui inisiatif kolaboratif dan berbasis dampak, mengarusutamakan partisipasi perempuan dan pemuda dalam strategi P/CVE, khususnya di komunitas rentan, serta memperkuat kolaborasi lintas iman untuk membangun kohesi sosial dan menangkal intoleransi beragama.

Kegiatan ini menjadi penanda penting bahwa pendekatan lintas-negara dan lintas-sektor menjadi kunci dalam membangun perdamaian berkelanjutan yang inklusif, adil, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *