Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak: Cegah Bersama dan Ciptakan Ruang Aman di Lingkungan Pendidikan Agama

Berita mengenai kekerasan seksual pada anak semakin marak terjadi. Ironisnya, beberapa  kasus kekerasan seksual dilakukan oleh tokoh agama atau guru ngaji. Kabar tersebut sangat memilukan dan menyesakkan dada. Fenomena tersebut merupakan suatu bentuk tindakan menodai ajaran-ajaran agama. 

Dari awal sampai pertengahan tahun 2025, beberapa kasus kekerasan seksual pada anak menjadi masalah yang semakin serius. Berita-berita menyedihkan mengenai kekerasan seksual yang ada di lembaga keagamaan nampaknya menjadi masalah genting yang harus dicegah bersama. 

Mirisnya, pelaku selalu menjadikan dalil agama sebagai alat untuk memuluskan kejahatannya,seperti kasus yang baru terjadi dewasa ini. Dilansir dari Kompas, kekerasan seksual oleh seorang guru ngaji di Tebet Jakarta Selatan, melancarkan aksinya dengan cara mengajarkan materi tentang hadas laki-laki dan perempuan. 

Dari kegiatan mengaji tersebut pelaku berulang kali melakukan kekerasan seksual terhadap murid-muridnya. Puluhan anak menjadi korban atas kejadian tersebut. 

 

Data Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut data Simfoni-PPA, dari awal bulan Januari 2025 sampai dengan saat ini, kekerasan seksual terhadap anak terdapat 9.189 jumlah kasus dengan rincian korban anak perempuan mencapai 7.061 dan 2.889 pada korban anak laki-laki. 

Kemudian, dilansir dari Metro Tv, Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual perempuan dan anak tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum tercatat karena korban merasa malu menghadapi stigma negatif dan takut untuk melaporkannya.

Perlu disadari bersama bahwa kekerasan seksual pada anak salah satunya disebabkan oleh adanya relasi kuasa. Dalam kasus  kekerasan seksual di lembaga keagamaan, guru mengaji dikenal sebagai seseorang yang faham akan agama, dan adanya kewajiban untuk setiap murid mentaati segala perintahnya. 

Hal ini juga menjadi penyebab dalil agama kerap kali digunakan untuk melegitimasi tindakan kekerasan seksual pada anak dengan ancaman dan memanipulasinya. 

 

Memaknai Kembali Makna Tauhid dan Kepatuhan

Pemahaman dan kesadaran mengenai tidak adanya ketaatan mutlak selain kepada Allah SWT atau Tauhid masih belum hadir di masyarakat. Dalam buku Nalar Kritis Muslimah, Ibu Nur Rofi’ah menjelaskan bahwa Tauhid dalam Islam bermakna “hanya menuhankan Allah SWT.”

Artinya, manusia wajib taat mutlak hanya kepada Tuhan. Dengan begitu, menuhankan selain kepada-Nya seperti harta, kekuasaan, dan libido, atau terhadap siapa pun sangat dilarang. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Khalik. 

Dalam pernyataan terkait makna Tauhid, perlu digaris bawahi bahwa kemaksiatan dan pengingkaran kepada Allah SWT perlu kita cegah dengan lantang tanpa harus takut terhadap apa atau siapa yang kita hadapi.

Relasi kuasa yang ada dalam tatanan sosial masyarakat menjadi penyebab tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak semakin meningkat. Perempuan dan anak rentan menjadi korban karena dianggap lemah, tidak berdaya, dan tidak punya kuasa untuk melindungi dirinya sendiri.  

Perempuan dan anak sebagai korban kekerasan seksual masih terbelenggu oleh ketakutan bersuara karena selalu dicap buruk dan menjadi sebuah aib di lingkungannya. Masyarakat harus bersama-sama meyakini bahwa korban kekerasan seksual tetap manusia utuh dan mendampingi mereka untuk mendapatkan pemulihan. 

 

Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Dampak dari kekerasan seksual pada anak dapat mempengaruhi emosional dan psikologisnya. Korban akan merasa malu, takut, tidak percaya diri sampai trauma yang mendalam. 

Menurut Fitrianna dan Zulkifli dalam jurnal pelecehan seksual pada anak menjelaskan bahwa rasa trauma pada korban muncul karena berbagai emosi yang dirasakan seperti marah, merasa terancam, tidak aman, merasa bersalah dan merasa lemah karena tidak bisa menghentikan pelecehan yang terjadi. 

Dalam setiap kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak melahirkan trauma yang dapat berpengaruh serius bagi kesehatan mental dan masa depannya. Sehingga, pemulihan untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual sangat perlu dilakukan. 

Oleh karena itu, harus kita ketahui bersama, jika mengetahui seseorang yang menjadi korban, harus berpihak kepada korban dan menghapus stigma negatif dengan tidak menyalahkan korban atau membullynya.

Kekerasan seksual berbasis gender (KBG) bisa terjadi dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja bahkan orang-orang terdekat kita. Pencegahan kekerasan seksual terhadap anak sangat urgen dilakukan oleh semua elemen masyarakat. 

Semua anak-anak perlu mendapatkan perlindungan dan keamanan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Menghadirkan ruang aman bagi perempuan dan anak perlu diusahakan dengan bergotong-royong, saling peduli dan empati terhadap sesama. 

Mari hentikan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak dan menjadi pejuang anti kekerasan seksual untuk menciptakan kehidupan yang baik bagi anak. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *