Saat Agustus datang, kemeriahan nasional mencuat: bendera terpasang, lagu kebangsaan diperdengarkan, dan semangat kemerdekaan menyatu di udara. Sejenak aku membayangkan: ketika sorak sorai itu reda, apakah setiap perempuan benar-benar merasa merdeka?
Bayangkan saja ini: undang-undang soal kekerasan seksual (UU TPKS) sudah disahkan sejak Mei 2022, tapi hingga dua tahun kemudian peraturan pelaksanaannya belum lengkap. Banyak aparat di daerah-daerah masih bingung menerapkannya. Sehingga meskipun korban mulai berani bicara, hukum akhirnya kelemahan implementasi. Akhirnya pelaku tidak mendapat efek jera nyata, korban pun tidak mendapatkan keadilan penuh.
Dalam saat yang sama, pemerintah memang meluncurkan program pencegahan dan layanan korban via DAK non-fisik sejak 2021. Namun kabar soal efisiensi anggaran tahun 2025 menghentak: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dipaksa memangkas hingga lebih dari separuh anggarannya, hingga pegawai PNS harus “patungan beli air galon” karena fasilitas dasar seperti AC dan tisu toiletnya dihilangkan.
Sementara di NTB, kasus perkawinan anak meningkat dramatis: 14,96% sepanjang tahun 2024, dengan 143 kasus tercatat hingga pertengahan 2025. Ini terjadi di tengah upaya nasional menurunkan angka pernikahan anak, tapi belum cukup menjangkau akar persoalan seperti kemiskinan atau pola asuh lokal.
Dengan begitu banyak janji dan regulasi, tapi di banyak titik pelaksanaannya tersendat, kadang tak menyentuh wilayah pedesaan, anak muda, perempuan pekerja informal, penyintas, aku bertanya dalam hati: dalam kondisi seperti ini, masihkah relevan kita merayakan kemerdekaan?
Menurutku, kemerdekaan perempuan itu bukan soal jumlah undang-undangnya, tapi bagaimana undang-undang itu memperbaiki harapan dalam hidup perempuan sehari-hari. Apakah anak perempuan di NTB diberi ruang memilih masa depannya? Apakah perempuan yang mengalami kekerasan sesksual merasa didengar, didampingi, dipulihkan? Atau apakah mereka justru melihat negara belum hadir secara penuh?
Aku juga melihat semangat perempuan yang terus bergerak: mereka yang membentuk ruang aman di komunitas, mendampingi penyintas, mendirikan koperasi untuk meringankan tekanan ekonomi. Mereka yang sering tampil bukan di panggung besar, tapi dalam pertemuan kecil, di sudut kampung, di meja ibu-ibu yang berjuang tanpa sorotan media.
Kenapa ini penting? Karena kemerdekaan perempuan menjadi nyata ketika kebijakan di tingkat atas menyentuh ruang-ruang kecil. Ketika suara perempuan dijadikan pertimbangan utama, bukan tambahan. Ketika perlindungan bukan hanya jargon tapi hadir secara konkret.
Ketika kebijakan belum sempurna, perjuangan itu masih harus berjalan. Ketika UU belum efektif, perempuan terus mempertahankan ruang hidupnya sendiri. Ketika anggaran lembaga pendamping perempuan dikurangi, perempuan justru saling menopang satu sama lain, menciptakan solidaritas yang tidak dibentuk oleh negara.
Aku menulis ini sambil membayangkan itu semua. Saat kita berjuang bersama seolah berjalan di lorong-lorong sempit kenyataan, lalu bertemu cahaya harapan kecil yang dibangun sendiri oleh kita, perempuan.
Kemerdekaan perempuan bukan soal simbol kebangsaan semata. ia tentang bagaimana perempuan diberi keluasaan untuk memilih, bagaimana keputusan-keputusan politik menyentuh kehidupan mereka, bagaimana tubuh mereka tidak lagi dikontrol oleh norma ketakutan, bagaimana suara mereka malah dianggap sebagai instrumen bagi perubahan besar.
Hari ini, kita merayakan peringatan kemerdekaan yang begitu kuat secara simbolik. Tetapi kemerdekaan perempuan juga perlu dirayakan dengan kritik, agar ia tidak tersedak oleh gestur besar, sementara hak-hak dasar masih terbatas oleh praktik yang tertunda.
Jadi ya, kita rayakan kemerdekaan. Tentu. Tapi, mari rayakan dengan pertanyaan terus menerus: apakah perempuan di sekitarku benar-benar merdeka? Dan jika belum, apa yang bisa kita lakukan, baik sebagai perempuan, laki-laki, sebagai teman, atau sebagai warga negara?
Karena di sanalah makna kemerdekaan perempuan tumbuh, dalam percakapan kecil, kesadaran kritis, dan tindakan yang tak selalu disiarkan di lini masa.
Maka, yang kita butuhkan mungkin bukan sekadar selebrasi, tapi perenungan. Bukan seremoni yang sibuk, tapi jeda untuk melihat dengan jujur: siapa saja yang belum diajak bicara dalam kemerdekaan ini? Apa saja yang selama ini kita anggap biasa, padahal menyisakan luka bagi banyak perempuan?
Kita terbiasa mengukur kemajuan dari angka dan grafik, padahal rasa merdeka tidak selalu terwakili oleh statistik. Ia hadir saat perempuan bisa bernapas tanpa dibayangi takut. saat keputusan tidak dipenuhi rasa bersalah. Saat ruang hidup tidak ditentukan oleh siapa yang paling keras bicara, tapi oleh siapa yang benar-benar mendengarkan.
Dan mungkin inilah kemerdekaan yang masih terus kita cari, yang belum selesai ditulis dalam dokumen negara, karena ia sedang dirakit perlahan dalam kehidupan sehari-hari. Di meja dapur, di ruang kelas, di balai desa, di halaman rumah, di tempat kerja yang tanpa pengakuan.
Selama perempuan masih harus membungkam perasaan untuk bertahan, menahan suara agar dianggap layak, atau menyusutkan dirinya supaya diterima, maka tugas kita belum selesai. Dan untuk itu, merayakan kemerdekaan bukan berarti berhenti bertanya, justru sebaliknya: itu berarti berani mengakui bahwa perjuangan ini masih berlangsung, dan kita semua sedang ada di dalamnya.