
Indonesia, meskipun telah memasuki dua dekade konsolidasi demokrasi, masih menghadapi berbagai konflik di tingkat lokal dan nasional. Konflik sosial yang dipicu oleh identitas seperti agama, etnis, dan kepercayaan masih marak di beberapa wilayah. Bahkan, beberapa konflik tersebut memiliki kaitan erat dengan persaingan dalam pemilu. Keterlibatan perempuan dalam resolusi konflik di tingkat global dan nasional masih sangat rendah. Laporan Sekjen PBB 2024 tentang agenda WPS menunjukkan bahwa perempuan hanya mengisi kurang dari 10% negosiator dan sekitar 13,5% mediator dalam proses perdamaian global. Komnas Perempuan juga menyoroti masalah serupa di Indonesia, di mana perempuan, meskipun sering menjadi korban utama, jarang dilibatkan dalam mediasi atau negosiasi damai.
Sejak 2019, AMAN Indonesia mengaplikasikan pendekatan Reflective Structured Dialogue (RSD), untuk membangun, rekonsiliasi, memediasi konflik dan menjembatani perbedaan pandangan. RSD diperkenalkan oleh Mediation Beyond Border International (MBBI) sebagai sebuah pendekatan yang bertujuan meningkatkan pemahaman atas perbedaan perspektif atau cara pandang. RSD telah dilatihkan kepada 121 perempuan dan anak muda aktor keagamaan dan organisasi masyarakat sipil, termasuk perempuan penggerak di komunitas. Bersama mereka, pendekatan RSD ini telah diaplikasikan untuk berbagai konteks, yaitu 94 seri dialog di 11 wilayah terdampak konflik dan kekerasan, dengan melibatkan 839 aktor dari berbagai latar belakang seperti tokoh agama, tokoh adat, organisasi pemerintah daerah, perempuan, anak muda, mantan ekstremis, dan penyintas kekerasan. kekuatan pendekatan ini
Di Poso, RSD didesain untuk memperkuat rekonsiliasi Muslim-Kristen pasca-konflik. Meskipun kekerasan fisik telah berakhir, masyarakat masih menghadapi segregasi dan trauma mendalam yang menghambat pemulihan. Melalui dialog terstruktur, RSD berupaya membuka kembali komunikasi, mengurai akar masalah, dan memulihkan hubungan antar kelompok. Pada November 2020, serangan teroris di Desa Lembantongoa, Sigi, menewaskan empat warga dan menyebabkan trauma mendalam bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Meskipun bantuan dasar telah diberikan, pemulihan psikologis dan kompensasi korban, terutama perempuan, masih belum terpenuhi. Melalui RSD, AMAN dan Libu Perempuan menciptakan ruang aman bagi para korban untuk berbicara tentang pemulihan. Hasil dialog ini kemudian menjadi dasar bagi pemerintah daerah dan kementerian untuk merancang pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada perdamaian, pemulihan jangka panjang, resiliensi masyarakat dan kerja sama lintas sektor.
Di konteks reintegrasi sosial, pendekatan RSD yang dikombinasikan dengan pendekatan restorative practice, menjembatani proses pemulihan kepercayaan antara mantan ekstremis dan pendukung ISIS dengan warga di wilayah Depok dan Lamongan. Kekuatan sosial dan struktur memiliki peran kunci untuk memastikan skenario reintegrasi berjalan berbasis hak dan sensitivitas gender. Di konteks lain, RSD menjembatani ruang dialog untuk isu intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama, kekerasan seksual, perbedaan pandangan ulama perempuan, dan lainnya. Peran perempuan sangat krusial dalam efektivitas pendekatan RSD, terutama karena daya resiliensi dan kepekaan mereka dalam mengenali isu-isu kekerasan berbasis gender (GBV) di tengah konflik. Hal ini membantu mengidentifikasi akar masalah dan melibatkan berbagai pihak dalam skenario resolusi yang peka korban dan kelompok rentan.