AMAN Indonesia, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) dan didukung oleh UN Women, menyelenggarakan Lokakarya Penguatan Agenda Women, Peace and Security (WPS) dalam Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme pada 10-11 Juli 2025, di Depok-Jawa Barat.
Lokakarya ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam Kelompok Kerja Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE), terutama terkait integrasi pendekatan WPS dalam agenda pencegahan ekstremisme kekerasan (Preventing/Countering Violent Extremism atau PCVE).
“RAN PE fase ke-2 merupakan momentum penting. Melihat angka-angka terorisme di Indonesia mulai melandai, tetapi sejumlah kasus intoleransi masih meningkat. Kerangka WPS memberikan kacamata yang lebih tajam dalam melihat pelibatan perempuan dan kelompok rentan. Melalui kacamata WPS, kita mampu melihat diversitas perempuan dimana tidak hanya secara fisik, tetapi perannya di lingkaran korban, pelaku, maupun pejuang damai,” Ucap Ruby Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia dalam sambutannya.
Selain itu, Ruby Kholifah juga menyampaikan bahwa adanya kasus kekerasan berbasis gender yang dilakukan beberapa negara konflik sebagai taktik perang. “Di konteks Indonesia mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi misalnya praktik poligami dan sunat perempuan, juga masih eksis dimana ada kekeliruan dalam memahami tafsir keagamaan. Di samping itu, WPS juga memastikan partisipasi perempuan dan mendorong kepemimpinan perempuan dalam membangun ketahanan masyarakat,” lanjutnya.
Dionisius Elvan Swasono, S.Sos., M.Si., Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT RI juga menekankan bahwa lokakarya ini sebagai pengingat bagaimana agenda WPS yang termaktub dalam Resolusi DK PBB 1325 tahun 2000 dan Resolusi DK PBB 2242 tahun 2015 yang secara khusus menekankan pentingnya peran perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan dan terorisme.
Sebanyak 25 peserta dari kementerian/lembaga anggota Kelompok Kerja RAN PE mengikuti berbagai sesi yang membahas ekstremisme kekerasan dengan pendekatan interseksionalitas. Salah satu sorotan penting adalah sesi diskusi kelompok yang membaca sejarah dan bentuk transformasi ekstremisme kekerasan di Indonesia, dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII) hingga ISIS.
Para peserta juga diajak memahami beragam pengalaman perempuan dalam konteks ekstremisme kekerasan. Studi kasus dari berbagai negara, seperti Indonesia, Nigeria, dan Suriah, memperlihatkan bagaimana perempuan dapat berperan baik sebagai pelaku, korban, maupun agen perdamaian.
Cerita inspiratif seperti perjuangan Nyai Luluk Farida, Pendeta Obertina Johanis, dan Novi Malinda Jamhuri yang telah didokumentasikan oleh AMAN Indonesia melalui digital platform She Builds Peace Indonesia menjadi pengingat akan pentingnya pengakuan dan dukungan terhadap kepemimpinan perempuan di tingkat komunitas.
Di hari kedua, peserta mendalami pentingnya sistem pemantauan dan evaluasi berbasis gender dalam implementasi RAN PE. Diskusi difokuskan pada tantangan koordinasi lintas sektor, strategi partisipasi masyarakat sipil, serta peluang pendanaan untuk mendukung implementasi yang berkelanjutan.
Abdul Charis dari Sekretariat Bersama RAN PE menyampaikan bahwa pentingnya political will dan sistem perencanaan program yang inklusif. “Tanpa keberpihakan yang tegas dan sistem Monev yang menyeluruh, RAN PE berisiko menjadi dokumen formal tanpa dampak substantif,” ujarnya dalam sesi refleksi bersama.
Lokakarya ini mengajak para pengambil kebijakan untuk melihat isu keamanan melalui lensa gender dan interseksionalitas. Perspektif WPS tidak hanya mendorong keterlibatan perempuan dalam isu-isu perdamaian, tetapi juga mengubah cara kita memahami akar kekerasan—termasuk ketidakadilan, marginalisasi, dan diskriminasi struktural.
Dukungan UN Women terhadap kegiatan ini menunjukkan komitmen global untuk menjadikan WPS sebagai pendekatan utama dalam merespons krisis keamanan. Yulies Puspitaningtyas, Program Manager UN Women Indonesia, menegaskan bahwa agenda WPS harus ditempatkan di pusat perumusan kebijakan, bukan sekedar pelengkap.“Partisipasi perempuan tidak cukup hanya disebutkan. Ia harus dijamin, dipastikan, dan dijalankan oleh negara,” ujarnya.
Dengan terbitnya Surat Edaran Kepala BNPT RI No. 1 Tahun 2025 sebagai acuan pelaksanaan RAN PE 2025–2029, integrasi kerangka kerja WPS ke dalam kebijakan pencegahan ekstremisme kekerasan menjadi semakin relevan dan mendesak. AMAN Indonesia melalui lokakarya ini membuka ruang pembelajaran kolektif yang penting untuk memperluas pemahaman lintas sektor.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa mengarusutamakan gender dalam PCVE bukan sekadar menambahkan “isu perempuan” ke dalam diskusi, tetapi sebagai pendekatan transformatif untuk mencapai keamanan yang inklusif dan berkelanjutan.