Perkawinan anak menjadi kasus ketimpangan yang telah banyak merenggut hak anak dengan beragam dampak yang merugikan. Dilansir dari laman UN Women, perkawinan anak adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Beragam alasan yang mendasari terjadinya perkawinan anak menempatkan anak perempuan lebih rentan menjadi korban perkawinan anak.
Adapun berbagai faktor yang mendorong perkawinan anak seperti kemiskinan, ajaran agama atau kepercayaan, tradisi dan budaya, norma sosial, maupun budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.
Faktor lain munculnya perkawinan anak atau pernikahan dini adalah adanya pengenalan dan promosi perkawinan anak di bawah 19 tahun yang sebetulnya melanggar kebijakan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjelaskan bahwa batas usia minimal menikah laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun
Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia setelah India, Bangladesh, dan China. Data UNICEF tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia menikah pada usia di bawah 18 tahun.
Menentang Tradisi dan Norma yang Membahayakan Anak di Masyarakat
Ketimpangan norma sosial menjadi faktor langgengnya praktik perkawinan anak. Indonesia sebagai negara yang menghormati tradisi dan nilai-nilai budaya, hal ini menjadi masalah serius sebab ada beberapa tradisi di Indonesia yang justru membolehkan perkawinan anak.
Beberapa waktu lalu, viral di media sosial sebuah video prosesi perkawinan anak. Laki-laki berusia 17 tahun menikah dengan perempuan berusia 14 tahun di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Alih-alih mencegah perkawinan anak, masyarakat sekitar justru menormalisasi atas nama budaya.
Tradisi Merariq (melarikan perempuan) di NTB, termasuk Lombok, sebetulnya telah berkontribusi dalam angka perkawinan anak. Dalam praktiknya, apabila perempuan menghilang selama 24 jam dan dikonfirmasi terjadi merariq, maka harus dilangsungkan pernikahan, supaya terhindar dari aib dan fitnah. Pelaksanaan tradisi ini membuat banyak pro dan kontra terjadi.
Selain itu, Mengutip Tempo.co dalam kajian Jurnal Dinamika Sosial Budaya pada 2020 berjudul Budaya dan Pernikahan Dini di Indonesia, menyebutkan bahwa praktik pernikahan dini atau perkawinan anak pada perempuan Madura mencerminkan moral individu budaya setempat yang bercorak Islami.
Sedangkan di Tanah Toraja, perkawinan anak tidak terlepas dari pandangan masyarakat setempat yang mengharuskan anak perempuan yang sudah menstruasi dan laki-laki yang sudah bekerja untuk menikah karena dianggap sudah dewasa.
Eksistensi dan tafsir terhadap adat istiadat, tradisi, kepercayaan, maupun agama sangat mempengaruhi usia perkawinan. Tradisi dan adat di sejumlah daerah Indonesia menyebabkan anak harus menikah tanpa mempertimbangkan kondisi dan kemampuan fisik, psikis, dan finansialnya.
Sehingga pengaruh dari nilai-nilai tradisi dan norma budaya menjadi faktor utama untuk mendukung maupun menentang perkawinan anak. Faktor tradisi dan budaya inilah yang membentuk pandangan masyarakat terhadap perkawinan anak. Jika membahayakan, apakah masih perlu budaya tersebut dilestarikan?
Perlu Kolaborasi Inklusif Berbagai Pihak
Indonesia telah memiliki kebijakan dengan mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah dan menangani perkawinan anak seperti dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan bahwa pemaksaan pernikahan pada anak adalah bentuk kekerasan.
Dalam undang-undang tersebut, hukuman pidana dapat diberikan bagi pelaku perkawinan anak, meskipun atas nama budaya. Sayangnya, implementasi dan pengawalan dari kebijakan ini masih lemah.
Pemerintah Provinsi NTB memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak, tetapi pada prakteknya, tradisi “merariq” sendiri masih sering disalahartikan dan memicu normalisasi perkawinan anak.
Dengan demikian, kita membutuhkan berbagai upaya kolaborasi lintas aktor untuk berkomitmen dalam pencegahan perkawinan anak. Misalnya, di beberapa daerah dapat melakukan edukasi berbasis budaya dan konteks lokal untuk mendorong pemahaman anak terkait pentingnya pendewasaan usia perkawinan dan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
Hal tersebut penting dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat guna menghindari perkawinan anak dengan dalih ekonomi, salah satu yang marak terjadi. Dukungan tokoh adat dan agama dengan peningkatan kapasitas dalam merespon dan mengedukasi masyarakat tentang dampak perkawinan anak bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala macam bentuk kekerasan. Stop Perkawinan Anak!