Membincang Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertempuran

Kekerasan seksual sebagai senjata perang menjadi salah satu cara paling kejam untuk menimbulkan rasa takut, menundukkan, mempermalukan, menghancurkan moral musuh, dan memindahkan secara paksa penduduk dari wilayah yang diperebutkan. 

Bahkan tidak jarang kekerasan seksual digunakan oleh para komandan militer untuk memotivasi tentaranya serta dijadikan sebagai bentuk ‘reward’ atas kinerjanya. Artinya perempuan sering dijadikan alat untuk menghancurkan harga diri lawan dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “medan pertempuran.” 

Tragisnya, praktik ini terjadi di berbagai konflik dunia, seperti di Rwanda, Yugoslavia, Ukraina, Bosnia, Republik Demokratik Kongo, hingga Indonesia, di mana perkosaan massal digunakan secara sistematis sebagai taktik perang.

Dalam konflik etnis paling biadab di Rwanda pada 1994, kekerasan seksual dijadikan sebagai senjata perang dengan keterlibatan langsung pejabat negara. Menteri Pemberdayaan Perempuan saat itu, Pauline Nyiramasuhuko, menggunakan kekuasaannya untuk memerintahkan milisi dari etnis Hutu untuk memperkosa perempuan-perempuan Tutsi sebelum membakar mereka hidup-hidup. 

Bahkan, Ia mengizinkan putranya sendiri melakukan pemerkosaan. Kekerasan seksual juga terjadi secara sistematis selama invasi Serbia ke Kroasia pada 1991 dan berlanjut ke Bosnia Herzegovina pada 1992. Tentara Serbia melakukan pemerkosaan massal dan pemaksaan kehamilan terhadap perempuan Muslim Kroasia dan Bosnia sebagai bagian dari strategi genosida untuk menghapus identitas etnis bayi yang dilahirkan. 

Selain itu, penyebaran pornografi juga dijadikan senjata untuk menghancurkan perempuan muslim-Kroasia. Mereka disiksa dan diperkosa secara berkelompok kemudian direkam dan disebarluaskan. Semua tindakan itu dilakukan oleh pasukan agresor Serbia untuk melumpuhkan perempuan non-Serbia dalam konflik bersenjata. 

Tragedi di Rwanda dan Yugoslavia inilah yang menjadi salah satu latar belakang lahirnya Vienna Declaration and Programme of Action (VDPA) pada Juni 1993, yang disepakati oleh 171 negara anggota PBB. Deklarasi ini menetapkan bahwa kekerasan seksual dalam perang merupakan pelanggaran HAM dan melanggar hukum humaniter.

Kekerasan seksual juga digunakan sebagai senjata teror selama invasi Rusia ke Ukraina. Salah satu bukti yang terdokumentasi dalam laporan BBC News pada 12 April 2022 menampilkan kesaksian seorang korban yang berkata: “At gunpoint, he took me to a house nearby. He ordered me: ‘Take your clothes off or I’ll shoot you.’ He kept threatening to kill me if I did not do as he said. Then he started raping me.” 

Pernyataan ini hanyalah satu dari banyak kisah serupa yang dialami warga sipil Ukraina. Tentara Rusia biasanya mendatangi rumah warga, memaksa korban menuruti perintah mereka, dan melakukan penyiksaan seksual seperti pemerkosaan, penelanjangan paksa, penyetruman alat kelamin, serta memaksa korban menyaksikan pemerkosaan dan pembunuhan. 

Tindakan ini menimbulkan dampak fisik, psikologis dan sosial yang mendalam, seperti trauma genital, infeksi menular seksual, PTSD, depresi, rasa malu, pengucilan, keinginan untuk bunuh diri, bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 

Hal serupa juga terjadi selama Perang Kongo I (1996-1997) dan Perang Kongo II (1998-2003). Pada Perang Kongo I, Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights melaporkan kekerasan seksual yang terjadi secara menyebar dan sistematis dilakukan oleh Forces Armées Zaïroses (FAZ), termasuk pemerkosaan di depan publik, pemerkosaan beramai-ramai, mutilasi genital, dan kanibalisme untuk menakut-nakuti warga sipil. 

Sementara itu, pada Perang Kongo II, kekerasan seksual digambarkan secara jelas dalam film dokumenter berjudul The Greatest Silence: Rape in Congo. Dalam perang itu, tentara bahkan berlomba menunjukkan kekejaman dengan memasukkan benda-benda ke genital korban seperti: botol, tongkat kayu yang dilumuri lada atau cabai, dan laras senjata. 

Kekerasan seksual ini menjadi bukti konkret dari internalisasi misogini karena mereka memperkosa dengan tujuan untuk mendominasi yang lebih lemah. Kejahatan-kejahatan yang terjadi selama Perang Kongo I dan II tidak hanya melanggar Hukum Humaniter tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi warga sipil yang tidak terlibat perang. 

Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan seksual sebagai taktik perang terjadi di berbagai peristiwa, seperti kerusuhan Mei 1998, pembantaian massal 1965-1966, dan sejumlah peristiwa yang terjadi di wilayah konflik.  

Misalnya, tragedi Rumoh Geudong yang awalnya adalah rumah tradisional Aceh yang kemudian digunakan oleh aparat militer sebagai pos Satuan Tugas (Satgas) selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998. 

Tempat ini menjadi lokasi penahanan, interogasi, penyiksaan, dan pemerkosaan terhadap warga sipil yang dituduh terlibat atau membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bangunan ini akhirnya dibakar oleh masyarakat pada tahun 1998, setelah status DOM dicabut dan tuntutan keadilan mulai menguat. 

Sayangnya, pemerkosaan massal sebagai senjata perang tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi para korban, tetapi penegakan hukum yang timpang. Belum lagi trauma korban, serta praktik impunitas menjadi tantangan dalam pengungkapan kebenaran. 

 

Dari Korban ke Penyintas, Resiliensi Perempuan Merawat Perdamaian

Di tengah gelapnya realitas kekerasan seksual sebagai senjata perang yang dibiarkan tanpa keadilan, tubuh perempuan tidak hanya menjadi simbol penderitaan, tetapi juga menjadi titik penting dalam upaya membangun perdamaian yang adil dan inklusif. Selama ini, perempuan kerap menjadi pihak yang paling menderita dalam konflik, namun ironisnya, mereka jarang dilibatkan dalam proses penyusunan solusi atau pengambilan keputusan. 

Padahal, sejarah menunjukkan perempuan memiliki peran signifikan dalam meredam konflik. Mereka terlibat baik melalui jalur perlawanan bersenjata—seperti Laskar Perempuan Surabaya pada tahun 1945 atau pasukan perempuan di Irak dan Suriah—maupun melalui jalur informal, dengan menjembatani kesenjangan sosial di tengah masyarakat. 

Contohnya terlihat dalam konflik di Maluku dan Poso, di mana perempuan hadir sebagai agen perdamaian di tengah krisis. Sementara di akar rumput, perempuanlah yang menjaga roda ekonomi keluarga dengan tetap berdagang atau mencari makan, sambil memainkan peran sebagai mediator dalam konflik antaragama. 

Kisah Mama Ete di Poso menjadi salah satu contoh nyata: ia mendorong anaknya keluar dari kelompok ekstremis demi perdamaian, sekaligus menolak menanamkan rasa dendam kepada generasi berikutnya. Peran-peran ini menegaskan bahwa perempuan memiliki memori dan semangat pemulihan sosial yang lebih panjang dan berkelanjutan. Perempuan tidak hanya menjadi korban, tetapi juga mampu menjadi aktor perdamaian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *