Komitmen Indonesia dalam mencegah ekstremisme berbasis kekerasan terus diperkuat, tidak hanya melalui pendekatan keamanan, tetapi juga dengan mengintegrasikan perspektif gender secara lebih mendalam. Sebagai langkah strategis, AMAN Indonesia, bekerja sama dengan Sekretariat Bersama (Sekber) Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), baru-baru ini menyelenggarakan lokakarya penting untuk memperkuat mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (Monevlap) RAN PE agar lebih sensitif gender. Lokakarya berlangsung di Jakarta, pada 22-23 Juli 2024, diikuti sejumlah Kementrian/Lembaga, Bakesbangpol provinsi dan elemen Organsiasi Masyarakat Sipil di nasional dan daerah.
Acara dibuka dengan sambutan-sambutan kunci dari para pemimpin institusi seperti Dwi Rubiyanti Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia, Yulies Puspitaningtyas, Program Manager UN Women, dan Dionnisius Elvan Swasono, Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia. Mereka menekankan pentingnya pencegahan ekstremisme kekerasan melalui pendekatan berbasis hak asasi manusia, inklusif, dan memperhatikan kesetaraan gender. Meskipun BNPT telah menerbitkan Peraturan BNPT No. 5 Tahun 2021 untuk mengatur tata cara Monevlap, integrasi dimensi gender dalam indikator dan pelaksanaannya masih perlu diperkuat untuk memastikan pengarusutamaan gender pada program aksi RAN PE 2025-2029.
Penguatan sensitifitas gender dengan mengakarkan agenda WPS (Women, Peace and Security (WPS) ini menjadi krusial mengingat perempuan tidak hanya sebagai kelompok rentan yang terdampak ekstremisme kekerasan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang memiliki peran penting dalam pencegahan, pemulihan, hingga reintegrasi sosial. Dengan mengintegrasikan perspektif gender secara utuh, sistem Monevlap diharapkan mampu menangkap diversitas pengalaman perempuan, dinamika partisipasi, akses terhadap sumber daya, dan perlindungan hak-hak perempuan dan kelompok rentan di berbagai tingkatan pelaksanaan RAN PE.
Dalam sesi Proyeksi Sistem Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan RAN PE Fase Kedua 2025-2029, Sekber RAN PE menyampaikan pentingnya advokasi dan peluang memperkuat indikator gender dalam rancangan monevlap, terutama mendetilkan theory of change RAN PE yang berupaya melandingkan sebuah perubahan terkait menguatnya perlindungan rasa aman dari ancaman terorisme bagi seluruh masyarakat. Sekber RAN PE, memliki mandatnya untuk memfasilitasi sinergi antar aktor dan memastikan prinsip inklusivitas, termasuk perspektif gender, dalam pelaksanaan RAN PE. Juga, peran masyarakat sipil, terutama Kelompok Kerja Tematis (Pokja Tematis) dalam mengonsolidasikan pembelajaran tematik dan memantau program yang berdampak gender.
Lokakarya ini juga mengidentifikasi secara jelas peran, tantangan, dan kebutuhan dari berbagai aktor—baik pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil (CSO), maupun mitra—dalam mekanisme koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang sensitif gender. Meskipun Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 339/5267/SJ Tahun 2021 telah menegaskan peran Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) di daerah dalam mengoordinasikan RAN PE, tantangan masih ada terkait kapasitas dan sistem pelaporan yang mampu menangkap dampak, partisipasi, dan kerentanan berbasis gender secara sistematis.
Kesenjangan yang teridentifikasi dalam implementasi mekanisme Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan RAN PE selama periode 2021-2024 digarisbawahi oleh Kementerian Dalam Negeri, Komnas Perempuan, dan Working Group on Women and PCVE (WGWC). Pertama tantangan konseptual, dimanaIsu-isu sensitif gender memiliki sifat yang sangat kualitatif dan belum didukung oleh kapasitas serta keterampilan operasional yang memadai dalam penggunaan perencanaan untuk hasil dan teori perubahan yang diharapkan. Kedua, tantangan teknis, masih ada keterbatasan dalam capacity building untuk mengumpulkan, menyusun, merepresentasikan, dan menganalisis data dengan kepekaan gender yang diperlukan. Ketiga, tantangan politik. Monevlap masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan, program, dan intervensi pencegahan ekstremisme.
Dalam lokakarya ini, AMAN mengenalkan sebuah alat atau instrumen untuk memperkuat atau mempertebal sensitivitas gender dalam kebijakan dan agenda RAN PE. Secara operasional, instrument yang diturunkan dari 4 pilar WPS (pencegahan, perlindungan, partisipasi dan pemulihan), diaplikasikan untuk mereview atau menilai sejuah mana kebijakan RAN PE, program dan intervensinya sudah mengadopsi sensitivitas gender. Instrumen memiliki pesan utama agar Kebijakan RAN PE fase kedua mendatang tidak memperburuk ketimpangan gender, tetapi justru mendorong terciptanya lingkungan yang lebih adil dan setara serta meningkatkan inklusi dan perlindungan perempuan serta kelompok rentan.