Lokakarya Aplikasi Panduan Penilaian Sensitivitas Gender dalam Pencegahan Ekstremisme Kekerasan Bagi Pokja RAD PE Jawa Barat

Upaya nasional-daerah dalam menangani ekstremisme kekerasan perlu didorong komitmennya untuk mengaplikasikan pendekatan yang lebih inklusif dan responsif gender. Bertempat di Bandung, Jawa Barat, AMAN bersama PeaceGen dan Kesbangpol Provinsi Jawa Barat menggelar sebuah lokakarya aplikasi Panduan Penilaian Sensitivitas Gender untuk RAN PE/RAD PE 2025-2029 bagi Kelompok Kerja Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme (Pokja RAD PE) Jawa Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta dari institusi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil. Lokakarya dibuka oleh Kepala Bidang Kewaspadaan Daerah pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Barat, Khoirul Naim, S.K.M., M.Epid.

Ekstremisme kekerasan di Indonesia menunjukkan kompleksitas yang meningkat, terutama dengan adanya keterlibatan perempuan. Meskipun jumlahnya lebih kecil, peran perempuan kini tidak terbatas pada korban, melainkan juga pelaku, bahkan dalam aksi bom bunuh diri, dan berpotensi melibatkan anak-anak. Fenomena ini didorong oleh beragam faktor, mulai dari pencarian pengakuan yang setara di tengah ketimpangan gender, kemudahan akses ideologi radikal melalui platform digital, hingga bias keamanan yang kerap meremehkan potensi ancaman dari perempuan. Pergeseran strategi terorisme ke arah serangan individu (jihad fardiyah) juga membuka ruang bagi perempuan untuk beraksi tanpa afiliasi formal.

Mengawali lokakarya, Letkol (Czi) Yaenurendra H.A.P., S.T., MMgt, Kasubdit Kerjasama Regional BNPT, memaparkan tentang perkembangan nasional penyusunan RAN PE fase kedua. Ia menjelaskan bahwa saat ini, proses penyusunan RAN PE 2025-2029 telah memasuki tahap Panitia Antar Kementerian. Targetnya, Peraturan Presiden (Perpres) RAN PE 2025-2029 dapat disahkan dan disosialisasikan pada akhir tahun ini, menandakan komitmen kuat pemerintah dalam melanjutkan dan memperkuat upaya pencegahan ekstremisme.

Dalam sesi kunci, Dwi Rubiyanti Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia, memberikan fondasi kerangka Women, Peace and Security (WPS) untuk membaca isu pencegahan ekstremisme kekerasan (PVE). Ia menjelaskan bahwa WPS menawarkan kepekaan untuk membaca diversitas perempuan dengan lensa interseksionalitas, yang mengakui beragam pengalaman perempuan berdasarkan identitas mereka yang berbeda. WPS juga mengenali dampak ekstremisme dalam bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang sering kali terabaikan. Lebih lanjut, Rubiyanti menegaskan bahwa perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam menjaga perdamaian, menyelesaikan konflik, dan membangun keamanan. Agenda WPS mengakui eksistensi agensi dan kepemimpinan perempuan, sehingga penting mereka dihadirkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini selaras dengan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1325 tentang WPS yang ditegaskan pada tahun 2000.

Ruby mengeksplorasi bagaimana empat pilar WPS—pencegahan, perlindungan, partisipasi, dan pemulihan—dapat diintegrasikan secara konkret dalam sembilan tema RAN PE. Sebagai contoh, dalam tema Kesiapsiagaan Nasional, penting untuk memastikan pelibatan perempuan dalam pelatihan aparatur (guru, dosen, aparat desa) untuk deteksi dini radikalisasi berbasis gender. Sementara itu, pada tema Perlindungan Hak Korban, yang merupakan irisan antara pilar Perlindungan dan Pemulihan WPS, Ruby menekankan perlunya mengintegrasikan hak perempuan korban terorisme ke dalam layanan nasional, termasuk bantuan hukum, trauma healing, dan jaminan sosial.

Ghufron dari AMAN Indonesia dan Siti Kholifah dari Universitas Brawijaya, mewakili tim penyusun Panduan Penilaian Sensitivitas Gender RAN PE, memfasilitasi sesi penting. Sesi ini berfokus pada mereviu implementasi Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme (RAD PE) Jawa Barat periode 2022-2024 menggunakan instrumen khusus. Instrumen tersebut berisi 144 pertanyaan yang diturunkan dari empat agenda Women, Peace and Security (WPS).

Dalam proses review ini, peserta memberikan skor level sensitivitas gender pada hasil capaian RAD PE di berbagai aspek. Sebagai contoh, dalam konteks kesiapsiagaan, ditemukan bahwa level sensitivitas gender masih tergolong “kurang sensitif”. Hal ini terutama disebabkan oleh minimnya pelibatan perempuan dalam sistem peringatan dini (early warning system).Namun, di konteks pemulihan korban, upaya yang dilakukan menunjukkan hasil yang lebih baik. Adanya pelibatan korban dalam perencanaan serta dukungan untuk proses pemulihan membuat aspek ini mendapat penilaian “cukup sensitif”.

Dari diskusi mendalam yang dilakukan, peserta kemudian merumuskan agenda-agenda transformatif yang perlu didorong untuk RAD PE fase kedua mendatang. Agenda ini bertujuan untuk memastikan sensitivitas gender dalam pembangunan mekanisme, alat kerja, program afirmasi, dan intervensi yang akan datang. Selain itu, diskusi juga menekankan pentingnya membangun sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan (Monevlap) sejak awal dengan indikator sensitivitas gender yang jelas. Di sisi lain, terdapat kebutuhan mendesak akan pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah dalam mengumpulkan, menyusun, merepresentasikan, dan menganalisis data dengan kepekaan gender. Ini mencakup penggunaan alat-alat seperti “Panduan Penilaian Sensitivitas Gender”.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *