Sebagai salah satu lembaga penyangga KUPI, AMAN Indonesia berkolaborasi dengan Center of Islamic Law and Ethic of Mubadalah (CILEM) dan SIS Forum Malaysia menyelenggarakan Exchange Learning secara online pada 16 dan 18 Oktober 2025. Mengambil tema Women’s Leadership in the Muslim World, kegiatan ini menandai langkah penting dalam memperkuat solidaritas lintas negara antara dua komunitas Muslim terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia.
Kegiatan yang digelar secara daring ini membuka ruang pertukaran pengetahuan dan pembelajaran bersama dan memperkuat solidaritas dalam semangat ukhuwah sejak Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama kali digelar pada 2017 di Cirebon.
Dalam sambutannya, Rozana Isa selaku Direktur SIS Forum Malaysia menyoroti meningkatnya kekerasan berbasis gender di kalangan pelajar Malaysia dan menekankan perlunya pendidikan agama yang berkeadilan. Ia juga menegaskan bahwa KUPI telah berperan penting dalam membangun narasi Islam yang ramah terhadap perempuan. “Kolaborasi Indonesia dan Malaysia sangat strategis untuk memperluas penerimaan terhadap tafsir keagamaan yang progresif dan memberikan pemenuhan dan perlindungan kelompok rentan seperti perempuan dan anak,” katanya.
Sementara itu, Ruby Kholifah, Country Representative of AMAN Indonesia, menegaskan bahwa gerakan KUPI dibangun dari konteks lokal setiap negara dan menjadi inspirasi bagi munculnya otoritas keulamaan perempuan di seluruh dunia. “KUPI bukan hanya forum keagamaan, tetapi ruang pengetahuan dan gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya,” tegasnya.
Di hari pertama dan dalam sesi pertama diskusi tematik bertemakan “Women Ulama at the Center”, menghadirkan Prof. Alimatul Qibtiyah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang menjelaskan bahwa KUPI lahir dari tiga pilar utama: semangat demokrasi pasca reformasi 1998, jaringan aktivisme perempuan sejak 1928, dan iklim Islam moderat melalui tradisi NU, Muhammadiyah, serta pesantren. Ia memaparkan tiga prinsip metodologis KUPI; mubadalah (kesalingan), ma’ruf (kebaikan sosial), dan keadilan hakiki (perlindungan terhadap kelompok rentan).
Prof. Alimatul menekankan bahwa pentingnya fatwa KUPI dengan menangkap pengalaman dan kebutuhan perempuan, telah memberikan dampak nyata, seperti pengharaman kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pengharaman pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan, serta pelarangan perusakan lingkungan.
Dalam sesi yang sama, Ruby Kholifah, salah satu narasumber lainnya,menguraikan bahwa fatwa-fatwa KUPI juga bekerja pada area advokasi, mendesakkan adanya perubahan kebijakan, seperti revisi Undang-Undang Perkawinan (menaikan batas usia minimal menikah bagi anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun dan anak laki-laki tetap 19 tahun) dan pengesahan Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai payung hukum yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban kekerasan seksual di Indonesia. Ruby juga menekankan bahwa otoritas ulama perempuan bersifat kolektif, inklusif, dan terbuka pada setiap era termasuk era digital yang saat ini mengancam banyak pihak termasuk serangan siber terhadap aktivis perempuan.
Dalam sesi Advocacy in Action: Translating KUPI’s Fatwa, hadir setiap perwakilan lembaga penyangga KUPI. Pera Sopariyanti dari Perkumpulan Rahima menjelaskan kerja-kerja lembaganya dalam menerapkan teologi keadilan di akar rumput melalui pendidikan pesantren. Sementara Fina Nihayatul Mazziyah dari AMAN Indonesia menyoroti advokasi transnasional KUPI di mekanisme PBB seperti CEDAW dan Universal Periodic Review (UPR).
Dari jaringan Gusdurian, Suraji menunjukkan upaya digitalisasi hasil musyawarah keagamaan KUPI melalui kolaborasi dengan influencer muda dan media keislaman. Fitia Villa Sahara dari Alimat menekankan pentingnya integrasi metodologi KUPI dalam kurikulum universitas dan riset gender Islam. Sedangkan Wakhit Hasim (UIN Syekh Nurjati Cirebon) membagikan pengalaman dalam membangun sistem etika penanganan kekerasan seksual berbasis teologi KUPI di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Hasil dari pertemuan ini menegaskan bahwa KUPI bukan sekedar gerakan ulama perempuan, melainkan gerakan yang berpijak pada spiritual, intelektual, dan sosial lintas bangsa dalam memperjuangkan Islam yang ramah terhadap perempuan dan berkeadilan bagi seluruh umat manusia. Kedua negara sepakat untuk memperluas kolaborasi di bidang pendidikan, advokasi, dan komunikasi digital sebagai fondasi untuk kegiatan lanjutan yang diselenggarakan secara tatap muka di Malaysia mendatang.
Pertemuan hari kedua pada 18 Oktober 2025 menghadirkan dua tokoh intelektual penggagas metodologi KUPI; Kang Faqihuddin Abdul Qadir dan Dr. Nur Rofiah. Kang Faqih menekankan konsep mubadalah sebagai dasar kesalingan antara laki-laki dan perempuan. “Kesetaraan gender bukan konsep Barat, melainkan amanah Qur’ani bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama khalifah di muka bumi,” ungkapnya.
Sementara itu, Dr. Nur Rofiah menguraikan gagasan keadilan hakiki yang menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Ia menjelaskan bahwa tafsir keadilan dalam Islam harus berkembang sesuai konteks zaman dengan menempatkan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang sah. “Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perempuan harus dibaca secara berlapis, dari konteks historis menuju cita-cita keadilan universal,” ujarnya.
Diskusi interaktif ini membahas tantangan dalam menafsirkan ajaran Islam terkait isu-isu kontemporer seperti kekerasan seksual, perkawinan anak, serta perlindungan kelompok rentan, termasuk komunitas transgender dan interseks. Para peserta menegaskan pentingnya metodologi KUPI sebagai pendekatan hermeneutika Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan ini diakhiri dengan harapan besar agar kerja sama antara Indonesia dan Malaysia bisa menjadi langkah awal membangun solidaritas global para ulama perempuan di Asia Tenggara. AMAN Indonesia dan SIS Forum Malaysia sepakat untuk terus mengadakan ruang diskusi secara berkala baik dengan daring maupun pertemuan in-person yang akan dilakukan pada tanggal 27-28 Oktober 2025, di Malaysia, Kuala Lumpur.
“Pertemuan ini menandai babak baru. KUPI bukan hanya gerakan Indonesia, tetapi gerakan lintas bangsa; lahir dari nilai-nilai Islam yang adil, inklusif, dan penuh kasih,” ujar Ruby Kholifah menutup kegiatan.