“Tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998,” demikian pernyataan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia dalam suatu sesi dengan jurnalis Uni Lubis. Informasi tersebut katanya lagi, hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.
Pernyataan itu seolah hendak menutupi dan menyangkal temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Pemerintahan B.J Habibie pada Juli 1998. Marzuki Darusman sebagai Ketua, dengan salah satu anggotanya, Romo Sandyawan Sumardi; dalam laporan resmi TGPF menemukan bahwa terjadi pelanggaran HAM, di mana terjadi 85 kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.
Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan pun mengkritik pernyataan Menteri Kebudayaan tersebut. “Temuan tersebut telah disampaikan kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998, yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005.”
Tujuan pembentukan Komnas Perempuan sendiri meliputi pengkajian, pemantauan, dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan, serta memberikan saran kepada pemerintah dan lembaga terkait untuk penyusunan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
Absennya Suara Korban, Melanggengkan Impunitas
Publik, dari berbagai kalangan, identitas maupun suku bangsa jadi bertanya-tanya, apakah ada pihak-dalam hal ini pelaku maupun dalang dibaliknya yang tak boleh diungkap, atau dengan kata lain ada kecenderungan negara/pemerintah -diwakilkan oleh pernyataan Fadli Zon tersebut membuktikan fenomena budaya impunitas.
Impunitas sendiri, dilansir dari laman Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, merupakan upaya-upaya ‘pembebasan dari hukuman’. Terutama ketika ada kasus pelanggaran hak asasi manusia yang umumnya dibiarkan begitu saja dan tidak berusaha dibenahi oleh negara dan institusi-institusi hukumnya.
Merespon sikap negara yang seolah tak memvalidasi kejadian dan tentunya pengalaman korban, Komnas Perempuan dalam peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Situasi Konflik tertanggal 8 Juli 2025, Dahlia Madanih, lagi-lagi mengingatkan masyarakat, pentingnya komitmen negara untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual, khususnya dalam situasi konflik, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung saat ini.
Menurutnya, hal ini penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan dan program penanganan kekerasan seksual dalam situasi konflik berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi, akuntabilitas, partisipasi korban, reparasi, mencegah terjadinya keberulangan konflik, serta praktik impunitas itu sendiri.
Terkait impunitas ini, laman Tempo pernah memuat pernyataan berikut. Dari laporan TGPF terungkap pemerkosaan massal ditemukan di wilayah-wilayah yang mana terjadi pengrusakan, pembakaran, penganiayaan dan kematian massal dan diarahkan pada warga Tionghoa yang dapat dibuktikan dengan identitas para korban yang sampai hari ini terkumpul pada ‘Tim Relawan’.
Salah satu anggota tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia menegaskan negara belum hadir dalam memenuhi hak para korban, seperti hak korban untuk mengetahui, hak atas rasa adil, dan hak reparasi.
Para korban yang merupakan perempuan etnis Tionghoa perlu tahu alasan pelaku menarget mereka menjadi korban pemerkosaan. Hak tersebut setidaknya untuk memenuhi hak atas rasa adil yang belum didapat korban, dan tentunya mencegah peristiwa terulang kembali.
Sementara, hak reparasi bagi korban dapat dilakukan secara politik seperti membuat undang-undang untuk melindungi perempuan, terutama bagian yang mengatur kekerasan seksual secara massal yang terjadi saat perubahan politik. Walau tahun 2022, Undang-undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan, bagian tersebut belum diatur secara khusus. Padahal, kata Ita, sejarah Indonesia mencatat pemerkosaan terhadap perempuan kerap dijadikan alat teror dalam perubahan politik.
Kekerasan Seksual sebagai Taktik Perang
Dari publikasi UN Woman, Facts and figures: Women, Peace, and Security, terungkap bahwa kekerasan seksual memang sengaja dipergunakan sebagai senjata perang, dan karena keberhasilannya dalam berbagai konflik dipergunakan berulang-ulang.
Pihak yang menggunakan kekerasan seksual sebagai taktik perang, paham betul bahwa di hampir banyak masyarakat, terutama perempuan, adalah tabu bila menceritakan aib kepada orang lain, termasuk keluarga. Belum lagi ada ketakutan terjadi pembalasan dan teror lanjutan, membuat banyak korban ragu untuk berbagi trauma mereka.
Kondisi tersebut dimanfaatkan para pelaku, yang sengaja menjadikan kekerasan yang korban alami sebagai kejahatan yang “tak terlihat”. Apalagi situasi konflik akan menyulitkan kemampuan penyedia layanan kesehatan untuk mengakses dan menyediakan sumber daya bagi mereka yang terdampak.
Dalam konteks Mei 1998, statement tersebut sangat relevan. Pada diskusi bertema “Kekerasan terhadap Perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998”yang diselenggarakan Logos ID berkolaborasi dengan KontraS pada Mei 2025, Jessenia Destarini, staf Advokasi dan Pemantauan Impunitas KontraS menjadi pembicara utama, menjelaskan bahwa para pelaku bergerak dengan pola, menyasar kelompok yang sama, dan melakukan kekerasan yang tampak seperti kekacauan massal, di mana dibaliknya tersimpan motif memanfaatkan tubuh perempuan sebagai alat kekuasaan.
Kekerasan seksual yang lalu dilakukan bertujuan mempermalukan, merendahkan, dan menunjukkan siapa yang berkuasa. Saat itu, targetnya perempuan Tionghoa karena mereka merepresentasikan minoritas yang mudah diserang. Dalam konteks ini, kekerasan seksual menjadi bentuk pesan politik dan sosial.
Masih dari diskusi yang sama, Jessenia mengungkapkan kelanjutan dari kejadian di mana upaya pegiat HAM dan pihak yang terlibat dalam pencarian fakta menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan terhadap korban tidak berhenti setelah peristiwa berlangsung, tapi berlanjut dalam bentuk impunitas dan pembungkaman. “Negara justru berperan dalam mempertahankan hal yang sistemik tersebut,” tegas Jessenia.
Sebagai perempuan, maka mengapa kita penting untuk melantangkan suara. Tidak menafikan, meremehkan, atau mengecilkan pengalaman perempuan, termasuk kekerasan yang dialami. Apalagi mengalihkan kesalahan dari pelaku ke korban. Serta terus dukung upaya penyelesaian kasus dengan penegakan hukum, yang bebas dari tendensi impunitas.
One victim is too many.