Kejadian tragis 27 tahun silam masih terekam jelas di kepala para korban kekerasan seksual di balik konflik 1998. Kejadian yang mereka alami menjadi luka yang tak kunjung sembuh, sebab negara pun tak pernah benar-benar berupaya menyembuhkan.
Alih-alih luka tersebut mengering, justru negara membuatnya semakin menganga dengan adanya rencana penulisan ulang Sejarah Indonesia yang dinilai akan menghapus fakta sejarah. Rencana tersebut melahirkan beragam dugaan dan kekhawatiran bahwa negara sengaja akan menghapus beberapa fakta sejarah yang ada.
Dugaan semakin menguat setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancaranya dengan jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi IDN Times, Uni Zulfiani Lubis di kanal youtube IDN Times pada Rabu, 10 Juni 2025 menyatakan bahwa pemerkosaan massal yang terjadi tahun 1998 tidak pernah ada dan tidak ada buktinya.
Pernyataan tersebut tentu menimbulkan kecaman dari banyak masyarakat terlebih para aktivis HAM, karena menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Pemerintah Indonesia pada 1998, pemerkosaan massal tahun 1998 memiliki banyak bukti dan kesaksian. Pernyataan tersebut seolah menjadi pertanda awal yang menguatkan dugaan bahwa penulisan ulang Sejarah Indonesia hanya akan menghapus berbagai fakta sejarah.
Sejarah semestinya tercatat dengan jujur, utuh, dan penuh, entah itu tentang suka maupun duka. Sejarah bukanlah catatan fiksi yang bisa dipilah mana yang dinilai hebat dan mana yang dinilai titik terendah. Generasi masa depan bangsa berhak tahu yang sebenarnya terjadi agar menjadi pembelajaran dan bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik kedepannya.
Demikian pula para korban kekerasan seksual 1998 berhak mendapat keadilan dan menyuarakan kebenaran. Kekerasan seksual kerap dilakukan selama konflik bersenjata sebagai strategi militer untuk melemahkan bahkan mengalahkan musuh. Hal tersebut dianggap efektif sebab mampu memberi tekanan penghinaan terhadap mental lawan.
Kekerasan Seksual Sebagai Taktik Perang dan Dampaknya pada Korban
Terlebih untuk para korban, trauma akibat kekerasan seksual di tengah konflik yang melanda bukanlah perkara sederhana, trauma tersebut melekat menjadi luka seumur hidupnya. Para korban kekerasan seksual merugi tidak hanya pada fisik, tapi juga psikologi dan sosial. Misalnya pada Perang Kongo I dan Perang Kongo II, terdapat banyak kasus para tentara saling berlomba mengungguli kekejaman dalam hal kekerasan seksual yang mereka targetkan kepada korbannya.
Ironisnya, tidak hanya alat kelamin, tetapi para tentara juga memasukkan benda-benda ke genital korban, seperti; tongkat, botol, pisang, kayu yang dilumuri lada atau cabai dan laras senjata api. Demikian pula kekerasan seksual yang terjadi di balik konflik 1998 yang terjadi di Indonesia.
Menurut kesaksian salah satu korban konflik 1998 ketika diwawancara wartawan BBC Indonesia, dirinya mengaku bahwa payudaranya dipotong dengan kejam. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan seksual yang terjadi 13-15 Mei 1998, sebagian besar kasusnya adalah perkosaan gang rape, yakni korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang sama.
Mirisnya lagi, kekerasan seksual selalu terulang dalam rentetan terjadinya konflik, seperti Tragedi 1965-1966, Tragedi Rumoh Geudong di Aceh, hingga konflik terbuka di Irian Barat dan Timor Timur. Cedera fisik yang dialami korban bukanlah luka sederhana, terutama di area genitalnya. Belum lagi, korban harus menghadapi trauma psikologi dan sosial yang terus membayangi seumur hidupnya.
Korban kekerasan seksual secara psikologis akan mengalami trauma mendalam bahkan dapat berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma (PTSD). Dalam skala ringan, tentu mereka akan menghadapi depresi, penurunan kepercayaan diri, dan perasaan rendah diri.
Sebagai sesama perempuan yang menyadari bahwa kami makhluk hormonal, saya ikut membayangkan bagaimana perasaan para perempuan korban kekerasan seksual tiap kali mengalami gejala emosional ketika PMS (Pre-Menstruasi Syndrom). Perempuan yang tidak memiliki pengalaman kekerasan seksual pun tiap PMS seringkali menemui gejala emosional berupa “perasaan tidak berharga”, apalagi mereka dengan pengalaman yang menyakitkan.
Maka menjadi tidak heran, jika para perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung menjadi pribadi yang berbeda dan mengalami gangguan identitas yang menyebabkan mereka kesulitan membentuk hubungan interpersonal.
Dampak sosial yang dihadapi perempuan korban kekerasan seksual juga tidak main main. Stigma masyarakat kepada korban seringkali justru memperburuk penderitaan korban, karena alih-alih memberi dukungan dan perlindungan, sebagian besar masyarakat justru menyalahkan dan merendahkan korban. Stigma inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor sulitnya mengungkap kejadian kekerasan seksual selama konflik, yakni korban enggan bercerita dengan jujur karena malu dan takut akan stigma yang ada. Dibutuhkan kerja sama antar peran baik dari masyarakat luas maupun negara dalam upaya penyembuhan korban.
Oleh karena itu, masyarakat luas perlu mendapat edukasi yang tepat tentang penanganan kasus kekerasan seksual dan bagaimana harus merespon korban. Lingkungan terdekat korban harus mampu menjadi ruang aman bagi korban untuk pulang dan merasa diterima seutuhnya, menjadi tempat yang aman dan penuh perlindungan.
Masyarakat dengan lingkungan yang demikian tentu akan sangat mendukung pemulihan psikologis korban. Demikian pula negara harus mampu bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, konflik 1998 terjadi karena gejolak politik dan ekonomi yang melibatkan banyak unsur negara. Oleh karena itu, sudah selayaknya suara korban didengarkan, pelaku diusut tuntas, dan korban mendapat keadilan.
Salah satu faktor kejadian 1998 sulit ditegakkan adalah karena ketidakpercayaan korban terhadap sistem keadilan di negeri ini. Citra hukum seolah sudah rusak dengan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Upaya yang dilakukan BJ Habibie sebagai presiden baru di tahun 1998 saat itu dengan membentuk TGPF dan Komnas Perempuan sebenarnya merupakan angin segar bagi korban, namun seiring berjalannya waktu kasus 1998 seolah berhenti tanpa kemajuan.
Menjadi tantangan besar untuk pemimpin negeri dalam meneruskan upaya keadilan tersebut, bukan malah muncul mengelak fakta seperti yang terjadi belakangan ini. Cita-cita ke-5 pancasila untuk membawa “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” rupanya belum terwujud seutuhnya.