“Mereka masih trauma dan berusaha memutus hubungan dengan masa lalu, ada yang gila, meninggal, bahkan bunuh diri,” tutur Saparina Sadli.
Demikian kisah salah satu aktivis perempuan, yang bersama Ita Fatia Nadia, Shinta Nuriyah dan aktivis perempuan lain membawa laporan temuan para korban menghadap Presiden Habibie untuk mendesak agar pemerintah mengakui dan minta maaf atas terjadinya pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.
Kondisi para korban ini, menurut Saparinah begitu terpukul, memilih bungkam karena kehilangan rasa percaya diri. Keluarga korban pun menolak tampil di depan publik, entah karena menjaga nama baik korban, maupun belum adanya jaminan perlindungan pada saksi ketika itu.
Belum lagi sikap negara dan sistem hukum yang tidak tegas menindaklanjuti dan mendukung pemenuhan hak dan keadilan untuk korban, memberikan jaminan perlindungan, dan cerita sejarah yang tidak pernah tuntas terungkap, atau malah dianggap rumor di masyarakat.
Ketidaktahuan etik menghadapi korban kekerasan seksual adalah persoalan lain, yang menurut Bu Sap, panggilan untuk Saparinah; ketika dasar yang digunakan untuk membuktikan adanya kasus perkosaan hanya dengan mengumpulkan informasi dari rumah sakit-rumah sakit.
“Para dokter yang merawat para korban memiliki etika ketat dan tidak boleh sembarangan memberi keterangan terkait keadaan pasien kecuali kepada keluarga,” ujarnya menanggapi pernyataan Wiranto saat itu tentang tidak adanya tindak perkosaan.
Menurutnya tindak pemerkosaan tak bisa diperlakukan seperti kasus kriminal biasa yang menuntut bukti fisik dan testimoni korban. Di dalam menangani persoalan perkosaan ini, latar belakang Saparinah sebagai seorang psikolog ikut berperan penting, berbeda dengan cara-cara pihak lain, yang misalnya lebih menekankan bukti-bukti legalistik/positif. “Untuk apa? Apakah semua yang pernah diperkosa akan mau testimoni?” tegasnya.
Upaya Akademisi perempuan kelahiran Jawa Tengah dan pendiri Pusat Kajian Gender UI ini, berujung pada kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Oktober 1998, yang ia pimpin sampai tahun paruh pertama tahun 2004.
Kelahiran Komnas Perempuan Memperkuat Keberpihakan pada Korban
Keresahan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang terdiri dari berbagai unsur aktivis dan pegiat isu perempuan, yang melakukan audiensi dengan Presiden BJ Habibie tanggal 15 Juli 1998, menghasilkan permintaan maaf Presiden atas terjadinya perkosaan sistematis yang menimbulkan korban perempuan yang mayoritas berasal dari Etnis Tionghoa dalam sebuah konferensi pers.
Tindak lanjut Presiden kemudian adalah pembentukan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) untuk melakukan penyelidikan terhadap kerusuhan Mei. Dari hasil laporan TGPF terjadi 92 tindak kekerasan seksual selama kerusuhan Mei tersebut di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya, yang meliputi 53 tindak perkosaan dengan penganiayaan, 10 penyerangan seksual/penganiayaan, dan 15 pelecehan seksual.
Usai proses tersebut, Presiden Habibie sekaligus meminta usulan dari Saparinah Sadli bagaimana upaya menindaklanjuti kasus perkosaan sistemik tersebut. Usulan Ibu Sap ketika itu adalah membentuk Komisi Nasional yang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia, didasarkan pada pemikiran bahwa kepentingan perempuan harus disuarakan, tidak hanya sekadar dititipkan kepada lembaga yang kelak bisa berbeda ideologi dengan gerakan perempuan.
Tawaran awal dari Presiden tentang nama “Komisi Nasional Perlindungan Wanita” dan ditempatkan di bawah naungan Menteri Negara Urusan Wanita, ditolak dengan tegas. Ibu Sap mengusulkan nama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan, sekaligus untuk diresmikan sebagai lembaga yang cara kerjanya bersifat mandiri dan independen.
Legitimasi hukum lembaga ini kemudian termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang disingkat dengan Komnas Perempuan.
Perkosaan = Terorisme Seksual
Bagi Saparinah sendiri, perkosaan bisa dikatakan sama dengan terorisme seksual. Komnas Perempuan yang pernah Saparinah pimpin sejak awal berdiri sampai tahun 2004, pernah mengeluarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2001, untuk menjelaskan khusus tentang terorisme seksual ini.
Terorisme seksual merupakan penyerangan yang meluas yang ditujukan pada tubuh dan seksualitas perempuan, yang menciptakan kondisi di mana korban senantiasa merasa terintimidasi dan terancam akibat keberadaannya sebagai perempuan. Sebagaimana teror bom, terorisme seksual bisa terjadi di mana-mana, dengan sasarannya orang-orang yang dianggap tak dapat membalas.
Satu peristiwa penyerangan tidak terlepas dari rangkaian tindakan penyerangan lain, saling berkesinambungan sehingga membangun suasana teror dan ketakutan di bawah dominasi dan kendali para pemegang kekuasaan. Penyerangan-penyerangan itu bersifat acak tapi terpola mengakibatkan para korbannya kehilangan rasa aman dan mengalami alienasi justru di lingkungannya sendiri.
“Oleh karena itu, daripada terus mengacu pada kesaksian korban akan tindak perkosaan yang mereka alami, yang sulit dan cenderung tak mungkin mereka lakukan, hal yang lebih penting adalah memperjuangkan dan memantau pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) supaya tegas berjalan di jalur ‘anti kekerasan terhadap perempuan’ bisa diimplementasikan dengan baik, “tegasnya lagi.
Ruang Aman bagi Korban
Saparinah yang ditunjuk Komnas Perempuan sebagai Pelapor Khusus tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya; kemudian membuat laporan berjudul Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual Mei 1998 bersama Andi Yentriyani.
Dalam laporan tersebut, Komnas Perempuan telah mampu memberikan perasaan “tidak sendiri” pada perempuan golongan Tionghoa. Sebelumnya, banyak yang merasa bahwa sebagai perempuan Tionghoa seolah mereka sendiri saja yang harus bergulat dengan masalah dan ingatan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
Laporan itu sekaligus menegaskan, bahwa walaupun korbannya perempuan etnis Tionghoa atau etnis apa saja, mereka adalah korban kekerasan yang penting mendapatkan perlindungan dan pemulihan agar kembali merasa aman.
“Ini bukan perkosaan amoy, ini perkosaan perempuan”.