“Maaf, Jenderal. Agustus tahun ini tidak ada bendera merah putih berkibar di truk kami.” Mulanya adalah kalimat yang biasa saja. Beberapa supir truk, yang punya tradisi kuat untuk selalu mengibarkan bendera merah putih di tiang truk atau di besi penyangga spion truknya setiap menyambut bulan Agustus, tahun ini memutuskan untuk tidak mengibarkannya sebagai bentuk protes pada negara – Agus Mulyadi.
Cuitan di atas diambil dari konten kreator yang akrab dipanggil Agus Magelangan 3 Agustus kemarin seketika menyentuh publik. Disukai lebih dari dua ribu lima ratus akun, dan dibagikan seribu delapan ratus akun. Itu baru di laman Facebook. Belum di laman media sosial lainnya.
Kehendak rakyat mengibarkan bendera One Piece-Jolly Roger menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-80, sebagai bentuk kritik simbolik terhadap pemerintah dan kondisi bangsa yang dianggap merosot, segera direspons negatif pemerintah.
Diasumsikan sebagai upaya mengancam persatuan dan kesatuan, atau memecah belah bangsa, bahkan ada yang menyebutnya upaya makar. Masyarakat yang kritis melihat reaksi ketakutan berlebihan ini, sebagai paranoid politik. Negara tampak cemas, sehingga merasa perlu menegaskan kuasanya.
Kunto Adi Wibowo, pakar komunikasi politik berpendapat ketakutan Pemerintah terhadap bendera dari cerita fiksi One Piece ini lebih karena adanya generation gap. Di mana yang duduk dalam pemerintahan berpikir hitam putih, sementara warga melihat hal tersebut dengan lebih banyak perspektif.
Misalnya, ekspresi kekecewaan atas kebijakan dan kinerja pemerintah yang justru merugikan rakyat kecil, melemahnya demokrasi, dan bentuk perlawanan nir kekerasan terhadap keadaan sosial dan politik Indonesia.
Di antara arus polemik masalah bendera tersebut, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, sempat menyatakan, selama tak dipasang berdampingan, apalagi posisi Merah Putih lebih tinggi, kondisi tersebut tak akan menjadi masalah hukum.
Meski kelihatannya Jolly Roger dan Merah Putih tak lagi jadi isu hangat rakyat dan pemerintah, ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Pemerintah untuk memprioritaskan hal yang lebih urgen dan berpihak pada rakyat masih terus bergulir. Salah satunya penanganan kasus yang baru-baru ini terjadi.
Urgensi Hukum Penanganan Femisida
Diva Febriani (tolong ingat namanya ya, teman-teman), Ia seorang pelajar perempuan SMA yang dibunuh, lalu mayatnya diperkosa, sepulang dari latihan paskibra dari sekolah (27/7/2025). Satu lagi pelajar perempuan berprestasi dibunuh karena femisida, dengan modus yang sama dengan yang dialami Nia Kurniasari, gadis penjual gorengan dari Padang Pariaman, akhir tahun lalu – Kalis Mardiasih
Kasus Diva yang diangkat Kalis, aktivis perempuan yang juga istri Agus Mulyadi, tidak hanya menambah daftar panjang kekerasan berbasis gender, seperti halnya temuan Jakarta Feminist. Setidaknya, terdata 209 perempuan dibunuh sepanjang 2024. Artinya, ada satu perempuan dibunuh setiap dua hari.
Dokumentasi tersebut menggambarkan bagaimana perempuan demikian rentan dalam berbagai situasi dan kondisi. Seperti halnya arti femisida, mereka menjadi korban hanya karena mereka perempuan.
Penanganan kasus Diva, anggota Paskibra jelang HUT 80 Kemerdekaan Indonesia, seharusnya secepat Pemerintah merespons niat masyarakat memasang bendera Jolly Roger yang dalam narasi One Piece, menjadi ekspresi dari kebebasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Namun, melihat penanganan kasus selama ini dan menilik Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang akses pada keadilan; di mana negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, meski perempuan korban meninggal, lalu memberi ganti rugi kepada keluarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya; masih banyak yang ditangani sebagai tindak pidana umum saja.
“Femisida tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Hukum pidana nasional hanya mengatur delik pembunuhan pada KUHP namun tidak mengatur delik pembunuhan khusus terhadap perempuan, meskipun ada pemberatan ancaman pidana 1/3 pada delik pembunuhan terhadap istri atau anak dalam KUHP Nasional.
Sementara UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan, melainkan kekerasan mengakibatkan mati, yang berbeda dengan delik pembunuhan karena ditujukan terhadap tubuh bukan merampas nyawa. UU terkait HAM mengakui diskriminasi menurut jenis kelamin, namun delik yang diatur hanya delik berat terhadap HAM yaitu genosida dan delik kemanusiaan,” papar Dr Erni Mustikasari, Deputi V Kemenko Polkam menjelaskan bagaimana kerangka hukum nasional dalam memproses kasus femisida, meski femisida memiliki karakteristik tertentu dan kental akan isu ketidakadilan gender.
Komnas Perempuan sendiri berulang kali mengingatkan masyarakat dan Pemerintah bahwa hak hidup sebagai hak asasi paling dasar wajib dijamin Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional. Dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia, isu femisida dapat digunakan untuk mengukur dan mendesak kewajiban negara terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Lambatnya respons yang sering berujung pada pengabaian merespons femisida menunjukkan kelalaian atau pembiaran negara karena ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin hak perempuan atas hidup dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Komnas Perempuan tak berdiam diri dengan mendorong pembentukan Femisida Watch, sebuah mekanisme untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik terkait femisida yang jelas berbeda dengan kasus kejahatan pada perempuan secara umum di Indonesia.
Dengan adanya Femisida Watch, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan secara lebih efektif, karena fenomena femisida di Indonesia begitu mendesak untuk aksi nyata dari semua pihak, mulai dari pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat.
Dengan demikian, tak hanya kaum perempuan dan aktivis isu perempuan dan anak menyerukan hal ini sebagai pengingat Pemerintah untuk sesegera mungkin menangani Femisida, sebelum ikut juga mengibarkan bendera Jolly Roger untuk menuntut pemerintah mengambil kebijakan terkait hal tersebut.
Power isn’t determined by your size, but the size of your heart and dreams
(Kekuatan tidak ditentukan oleh ukuran Anda, tetapi besarnya hati dan impian Anda)
~ Monkey D Luffy-One Piece
Kita tunggu, seberapa besar hati dan kehendak Pemerintah memikirkan implikasi hukum dan akses keadilan bagi korban atas situasi krisis saat ini, termasuk kasus Femisida, sebelum jumlahnya terus bertambah.