Di berbagai pelosok negeri, perkawinan anak seringkali menghancurkan masa depan anak perempuan, bahkan membenarkannya atas nama dalil keagamaan. Beberapa tokoh agama mengiyakan atau hanya diam. Kemudian, hadir Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyebarkan tafsir keagamaan yang ramah terhadap perempuan.
Pada 2017, kongres KUPI pertama mengeluarkan Fatwa No. 02/MK‑KUPI‑1/IV/2017 yang tegas menyatakan bahwa pernikahan anak hukumnya dilarang karena mudharatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya.
Fatwa ini bukan sekedar wacana. Abdul Sidik (2021) dalam penelitiannya menegaskan bahwa fatwa KUPI dibuat berdasarkan analisis sosial-hukum yang mendalam. Mereka mencatat konsekuensi nyata yaitu tingginya angka perceraian, putus sekolah, bahaya kesehatan bagi ibu dan bayi, serta kekerasan berbasis gender.
Dengan mengaitkan nilai-nilai maqāṣid syariah, perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan martabat, KUPI merumuskan bahwa putusan agama harus memprioritaskan kemaslahatan anak dan bangsa. Hal yang menarik dari fatwa ini adalah pendekatan manusiawinya.
Ulama perempuan KUPI melakukan ijtihad sosial, memadukan teks agama dan ilmu kontemporer yaitu psikologi, kesehatan masyarakat, serta hukum perlindungan anak. Mendengar pengalaman perempuan dan turun langsung ke komunitas, pendekatan semacam ini mampu melahirkan fatwa yang bukan hanya bersifat simbolik, tetapi benar-benar responsif dan sensitif gender terhadap realita di lapangan.
Selain perkawinan anak, pendekatan inklusif ini juga tercermin dalam konsep ijbār (hak paksa wali menikahkan anak). KUPI menafsirkan ulang ijbār berdasarkan nilai “Trilogi KUPI”: ma‘rūf (kebaikan), mubādalah (timbal balik), dan keadilan hakiki. Tafsir ini menolak interpretasi tradisional yang memberikan hak mutlak pada wali, alih-alih memastikan kematangan anak dan mencegah kekerasan dengan paksaan menikah.
Advokasi Kebijakan Batas Minimal Usia Menikah
KUPI sebagai ruang strategis dan melahirkan langkah konkrit. Fatwa KUPI mendorong disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 tentang batas usia minimal menikah laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Kebijakan tersebut juga memperketat dispensasi nikah dan melibatkan tokoh agama dalam edukasi pra-nikah. Negara juga diingatkan untuk memfasilitasi layanan pemulihan korban, pendidikan, dan kesehatan yang layak.
Berdasarkan data UNICEF, 1 dari 6 perempuan Indonesia menikah sebelum 18 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata 9,23% anak menikah dini pada 2021, bahkan beberapa daerah melampaui angka 15 %. Meskipun menurun dari 14,7% di tahun 2008, menjadi 10,8% di tahun 2019, tingginya dispensasi nikah dari pengadilan agama masih menjadi tantangan besar.
Fatwa KUPI Diadopsi Lembaga Pendidikan Agama
Oleh sebab itu, peran ulama perempuan tak berhenti pada fatwa. Di Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Kalimantan Selatan, mereka turun ke pesantren dan majelis taklim. Mereka menyampaikan tafsir keagamaan dengan narasi yang membebaskan, memahami kondisi lokal dan adat, tanpa meninggalkan pijakan nilai universal.
Beberapa pesantren sudah mengadopsi fatwa ini dalam kurikulum dan aturan internal. Misalnya, Pesantren Kebon Jambu Al‑Islamy, Cirebon Jawa Barat yang dipimpin oleh Nyai Hj. Masriyah Amva. Pesantren ini menjadi pionir dalam membumikan perspektif keadilan gender dalam memahami tafsir keagamaan. Pesantren ini secara aktif menerapkan dekonstruksi tafsir patriarki dalam kurikulum dan mengintegrasikan isu keadilan gender ke dalam proses pembelajaran.
Selain itu, Pondok Pesantren Kempek Cirebon Jawa Barat yang dipimpin oleh Bu Nyai Afwah Mumtazah, alumni Pendidikan Ulama Perempuan (Rahima), menginisiasi aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan menerapkan pendekatan tafsir yang sensitif gender serta menyediakan rumah aman bagi penyintas kekerasan seksual.
Selanjutnya, Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon juga membuka ruang dialog antar santri dan pengajar mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sejumlah pesantren ini memberikan contoh bagaimana lembaga pendidikan agama dapat menjadi ruang strategis dalam mengajarkan pemahaman keislaman yang berkeadilan gender.
Ketiga contoh pesantren di atas menggunakan perspektif gender bukan sekadar simbol, tapi wujud nyata dakwah Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamiin. Pernikahan bukan sebatas menghindari pergaulan bebas atau melepaskan tanggung jawab finansial orang tua pada anak, melainkan pernikahan sejatinya membutuhkan kesiapan fisik, mental, dan finansial.
Seperti halnya yang disampaikan oleh para ulama perempuan KUPI seperti Dr. Nur Rofiah, Nyai Hj. Umdatul Choirat, dan KH. Husein Muhammad dalam wawancara bersama Rinaldi dkk. (2024), “Anak lahir dari ibu yang lemah berpotensi melahirkan generasi lemah.”
Hal tersebut menggarisbawahi bahwa tujuan KUPI yaitu menolak pernikahan dini demi masa depan bangsa yang cerdas dan tangguh. Selain isu hukum dan kesehatan, fatwa KUPI juga menyampaikan pendekatan moral yaitu mengajak masyarakat mengubah paradigma.
Bukan lagi menikahkan anak karena adat, kebutuhan ekonomi, atau “untuk selamat dari zina”, tetapi untuk memastikan anak tumbuh dan berkembang secara utuh, memperoleh pendidikan yang layak, dan membangun karakter yang penuh tanggung jawab. Fatwa KUPI menekankan pada kemaslahatan agar anak perempuan tidak lagi dipaksa menikah, tetapi berdaya dan memperoleh haknya.
Referensi:
Abdul Sidik. (2021). Perkawinan Anak dalam Pandangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Studi Fatwa KUPI No. 02/MK-KUPI-1/IV/2017 tentang Pernikahan Anak). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
KUPI. (2017). Hasil Musyawarah Keagamaan tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Diakses dari https://kupi.or.id/naskah-hasil-musyawarah-keagamaan-tentang-pernikahan-anak
UNICEF Indonesia. (2022). Child Marriage in Indonesia: Progress and Gaps.
Yayuk Fauziyah. (2020). Dekonstruksi Fiqih Patriarkis dan Ulama Perempuan. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 5, No. 1.
Tim Penulis Rumah KitaB. (2015). Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-Anak. Jakarta: Rumah KitaB