RAD PE Rampungkan Target Payung Hukum 2025, Satu Langkah Cegah Ekstremisme

LombokPost – Suara komunitas akhirnya menemukan jalannya.

Setelah tiga tahun kerja senyap dan konsisten, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam working group menyerahkan draf final Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Ekstremisme (RADPE) Berbasis Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan kepada pemerintah.

Ini bukan sekadar naskah. Tapi puncak dari rentetan dialog, evaluasi substansi, dan diskusi antar-organisasi yang difasilitasi oleh La Rimpu sejak 2022.

“Ini puncaknya, produk dari seluruh pikiran kolektif kami,” ujar Prof. Dr. H. Abdul Wahid, Pembina La Rimpu, Senin (28/7).

Menurut Wahid, draf ini merupakan hasil rangkaian forum substantif yang berlangsung sejak 2022. Prosesnya tak hanya berhenti pada penyusunan naskah, tapi juga menguji tiap bagian agar relevan dengan kebutuhan lapangan.

“Kita periksa ulang semua isinya. Supaya tak ada yang tertinggal. Tidak ada satu pun elemen masyarakat yang luput,” tegasnya.

RADPE dirancang bukan untuk menambah daftar panjang produk hukum yang menumpuk di rak birokrasi. Isinya menyentuh langsung isu-isu kekerasan berbasis ekstremisme yang menyasar kelompok paling rentan: perempuan dan anak.

“Ini bukan wacana. Tapi dokumen yang syarat praktik. Harus bisa digunakan, dijalankan,” kata Wahid.

Struktur naskah RADPE juga dirancang modular. Ia dapat diintegrasikan ke dalam rencana aksi daerah lainnya, seperti RAD-P3KS (Rencana Aksi Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial) yang berada di bawah koordinasi DP3AP2KB.

“Kita tidak ingin terlalu banyak produk hukum yang terpisah-pisah. RADPE dan RAD P3KS bisa dibingkai dalam satu regulasi. Satu dokumen, beberapa bab,” ujarnya.

Ini sejalan dengan arah baru pemerintah. Merampingkan regulasi dan memperkuat efektivitas dokumen kebijakan.

Langkah selanjutnya adalah proses teknokratik. Pemerintah akan membentuk tim untuk menggodok sisi administratif dan legalisasi formal.

“Kita harap pembahasan substansi rampung hari ini (kemarin, Red), lalu lanjut ke tim teknis,” ujar Wahid.

Bagi Wahid, finalisasi RADPE bukanlah ujung. Justru awal dari kerja yang lebih luas: memastikan implementasi.

“Kita tidak ingin kerja ini hanya jadi catatan. Tapi sungguh jadi pijakan hukum,” katanya.

Ia mengaku optimis, kerja tiga tahun terakhir ini tidak akan sia-sia. Apalagi pemerintah sudah membuka ruang dan menunjukkan political will.

“Kami, dari masyarakat sipil, ikhlas. Tapi ikhlas yang partisipatif. Karena dokumen ini sudah dikawal lama,” ujarnya.

La Rimpu juga berharap RADPE bisa menjadi model bagi kabupaten dan kota lain di NTB. Kota Bima dan Kabupaten Bima disebut telah tertarik memulai proses serupa.

“Kalau Pergub ini berhasil, akan jadi success story,  kelompok-kelompok sipil di daerah lain bisa meniru,” kata Wahid.

Ia menyebut model ini sebagai kerja komunitas episteme. Bukan sekadar aktivisme, tapi kerja berbasis pengetahuan dan riset sosial.

La Rimpu sendiri telah dipercaya untuk berbagi pengalaman di tingkat nasional. Tahun ini, mereka diundang ke Jawa Barat untuk memberi asistensi teknis pada forum serupa.

Di akhir wawancara, Wahid mengingatkan soal pentingnya dokumen seperti RADPE dalam peta nasional. Ia menyinggung laporan Setara Institute yang pernah menempatkan Kota Mataram dalam daftar 10 kota intoleran.

“Yang dilihat bukan sekadar sikap masyarakat, tapi ada tidak produk hukum yang melindungi?” katanya.

Dengan RADPE, ia berharap kekosongan itu bisa terisi. NTB bisa naik kelas, tak hanya dalam retorika toleransi, tapi juga dalam instrumen hukum yang nyata.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi NTB menyatakan komitmennya.

Melalui Kepala Bidang Ketahanan Ekososbudagama dan Ormas Bakesbangpoldagri NTB Jauhari Muslim, memastikan RADPE sudah masuk program prioritas.

“Sudah diprogramkan. Sudah ada anggarannya. Tinggal eksekusi,” kata Jauhari.

Jauhari mengatakan, Kepala Kesbangpol NTB juga telah melaporkan langsung ke Gubernur. Tahap selanjutnya tinggal finalisasi bersama tim teknis dari pemerintah dan La Rimpu.

“Targetnya 2025 sudah selesai. Menjadi Peraturan Gubernur,” ujarnya.

Meski eksekusi tinggal selangkah, Jauhari mengingatkan proses regulasi tidak bisa instan. Apalagi, produk hukum ini akan berlaku untuk seluruh wilayah NTB yang karakter sosial-budayanya berbeda-beda.

“Sekotong beda dengan Selong. Mataram beda dengan Bima. Pendekatannya harus kontekstual,” katanya.

RADPE diharapkan mampu menjembatani ragam pendekatan itu. Ia tidak hanya berfungsi sebagai dokumen legal, tapi juga sebagai panduan kerja lintas sektor dalam pencegahan ekstremisme.

“Kita ingin mencegah, bukan hanya menindak. Karena tindakan penegakan hukum itu urusan aparat. Ini ranah sipil. Pencegahan jauh lebih penting,” pungkasnya. (zad/r9)

 

Editor: Kimda Farida

Sumber: Lombok Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *