Mei 1998, menjadi saksi tentang luka pada tubuh-tubuh perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa. Tubuh-tubuh itu diseret dari rumah dan toko, ditelanjangi, diperkosa secara bergiliran, disiksa, dan diintimidasi. Dalam gelapnya malam dan hiruk pikuk kekacauan, mereka mengalami kekerasan yang disengaja dan terstruktur, sebuah teror yang menyasar tubuh perempuan sebagai alat kekuasaan dan penghancuran simbolik.
Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan yang sejak awal mendampingi para korban, mengingatkan kita bahwa narasi “Reformasi” selama ini terlalu fokus pada kemenangan politik. Padahal, ada tragedi kemanusiaan yang terjadi, masifnya kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual pada 13-15 Mei 1998. Angka ini sebetulnya puncak gunung es karena kekerasan sesungguhnya jauh lebih banyak dan terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, tempat yang paling aman, yaitu rumah.
Berdasarkan laporan TGPF, ditemukan adanya pola kekerasan yang disengaja dan sistemik, di mana korban diperkosa secara bergiliran dalam gang rape yang dilakukan di hadapan orang lain. Lebih memilukan, ada kesaksian tentang seorang perempuan yang berhasil selamat dari kekerasan karena ibunya yang ‘pribumi’ meyakinkan para pelaku bahwa anaknya adalah keturunan pribumi.
Kesaksian ini menggambarkan bagaimana kekerasan tersebut bukan sekadar brutalitas acak, tapi juga terstruktur untuk menyerang kelompok tertentu yang dikambing hitamkan sebagai penyebab krisis (Sumber: Amnesty International, 2025; Komnas Perempuan & TGPF).
Tionghoa, Krisis Moneter, dan Tragedi 1998
Tragedi Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial politik dan ekonomi kala itu. Krisis moneter yang mengguncang Indonesia memunculkan kemarahan massal yang diarahkan secara rasial terhadap etnis Tionghoa kelompok yang kerap dicitrakan menguasai perekonomian nasional (The Conversation,2020). Narasi tersebut kemudian berkembang menjadi kekerasan yang brutal, dengan perempuan sebagai korbannya yang paling rentan.
Sementara banyak orang mengaitkan kerusuhan hanya dengan penjarahan dan pembakaran, tak banyak yang berani menyuarakan fakta bahwa tubuh perempuan dijadikan medan balas dendam, pelampiasan, dan teror. Ketika amarah kolektif dilegitimasi, tubuh perempuan menjadi simbol penghinaan atas kelompok yang dikonstruksi sebagai musuh bersama. Kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi ini bukanlah kebetulan. Ia adalah produk dari kebijakan diskriminatif jangka panjang, pengabaian negara atas kebencian rasial, dan pola kekuasaan yang membiarkan tubuh perempuan dikorbankan demi stabilitas palsu.
Perlindungan Perempuan Pembela HAM
Sayangnya, negara memilih bungkam. Presiden BJ Habibie sempat mengucapkan permintaan maaf secara umum, tapi tak pernah ada pengakuan hukum atas kekerasan seksual sebagai bagian dari tragedi tersebut. Tak satupun pelaku diadili, dan tak satupun korban mendapat keadilan yang layak. Para relawan yang gigih mengungkap kebenaran bahkan mengalami intimidasi dan teror. Ita Martadinata, penyintas dan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dibunuh sebelum sempat bersaksi di Kongres Amerika Serikat. Pesan pembunuhnya jelas, kematiannya diduga sebagai upaya membungkam kesaksiannya tentang kekerasan seksual dalam tragedi Mei ( konde,2025)
Tekanan juga datang dari aparat negara. Ita Fatia Nadia pernah dipanggil ke istana, dihadapkan pada empat jenderal yang menuduhnya berbohong. Ia tetap tegas menjawab, “Saya tidak berbohong. Saya berani bertanggung jawab.” Keteguhan Ita adalah keberanian yang menentang upaya negara untuk membungkam kebenaran.
Dari sudut pandang keadilan berbasis gender, tubuh perempuan—terutama dari kelompok minoritas kerap dijadikan simbol kehormatan kolektif. Ketika krisis politik dan ekonomi meledak, yang pertama dikorbankan adalah tubuh-tubuh ini, dijadikan alat untuk mempermalukan, menakut-nakuti, dan menguasai secara simbolik. Namun, perempuan juga mengambil peran penting sebagai penjaga ingatan, pembela hak asasi, dan penegak keadilan di tengah sunyi dan tekanan.
Dalam sunyi yang dipaksakan, perempuan justru hadir sebagai penjaga kebenaran. Mereka menyimpan ingatan, menyuarakan luka, dan membangun ruang-ruang aman untuk sesama penyintas. Para ibu, aktivis, jurnalis, dan relawan perempuan menyatukan keberanian mereka untuk menolak lupa, mereka mendokumentasikan kesaksian, menuntut pengakuan, dan merawat harapan di tengah arus pembungkaman. Dalam setiap arsip yang disusun, setiap forum yang digelar, dan setiap pelukan bagi korban, ada keberanian perempuan yang menjelma menjadi kekuatan kolektif untuk melawan ketidakadilan
Dalam konteks sosial budaya, kekerasan ini juga merefleksikan konstruksi lama tentang siapa yang “layak” menjadi bagian dari bangsa. Perempuan Tionghoa tidak hanya diposisikan sebagai “the other,” tapi juga sebagai sasaran empuk pelampiasan krisis nasional. Ketika negara membiarkan bahkan menyangkal adanya kekerasan, yang terjadi bukan hanya pengabaian terhadap hak perempuan, tapi juga pengkhianatan terhadap prinsip kemanusiaan.
Sikap diam negara, dan upaya menghapus tragedi Mei 1998 dari buku sejarah, memperlihatkan bagaimana negara seringkali bersekutu dengan maskulinitas dominan. Negara tidak netral; ia memelihara memori yang menguntungkan narasi kekuasaan, dan menghapus ingatan yang mengancam stabilitas citra nasional.
Dalam kerangka ini, tubuh perempuan bukan hanya korban, tapi juga medan perang politik, simbol kehormatan, dan alat propaganda kekuasaan. Inilah yang membuat kekerasan seksual dalam konflik seperti Mei 1998 tidak bisa dilihat sebagai “kejahatan seksual biasa” ia adalah kekerasan politik yang dilegalkan melalui pembiaran sistemik.
Dua puluh enam tahun telah berlalu. Luka itu belum sembuh. Buku sejarah kita masih diam, kurikulum direvisi, bahkan pejabat menolak mengakui tragedi itu pernah terjadi. Narasi kekuasaan sibuk mencuci bersih memori kolektif. Namun, tubuh perempuan tidak pernah lupa. Rahim yang dipaksa menerima kekerasan itu menyimpan ingatan dalam sunyi, dalam gemetar yang tak pernah reda, dan dalam mimpi buruk yang diwariskan dari ibu ke anak perempuan.
Komnas Perempuan lahir sebagai pelipur lara dan penyembuh luka. Mengingatkan bahwa keberanian perempuan telah menyalakan cahaya dalam kegelapan sejarah. Perdamaian tidak akan terwujud tanpa penegakan hukum yang berpihak pada korban.Perdamaian yang tidak mengakui luka tubuh perempuan adalah perdamaian semu karena mengabaikan sejarah adalah bentuk kekerasan berulang. Mari lantangkan Stop Kekerasan terhadap Perempuan!