Pilot program untuk memfasilitasi penguatan pengetahuan, institusi dan mekanisme sosial untuk perlindungan dan pencegahan kekerasan berbasis esktremisme, gender dan agama, di mana perempuan menjadi aktor kuncinya.
Dalam kasus radikalisme dan kekerasan berbasis gender dan agama, perempuan dan anak paling rentan menjadi korban. Keterlibatan perempuan meningkat dalam aksi terorisme dari sisi peran dan jumlahnya dalam kurun 3 tahun terakhir. Konstruksi gender yang maskulin di mana laki-laki sebagai aktor utama, kini bergeser di kalangan ekstremis. Feminisasi digunakan untuk mendorong perempuan di lingkar mereka berubah, dari yang tersubordinasi dan tampil di ruang domestik, kini dimanfaatkan kekuatannya menjadi ujung tombak aksi terorisme. Perubahan lokus dari ‘back yard’ ke ‘dining room’ menimbulkan perubahan yang signifikan di mana istri dan anak tidak hanya terlibat membincangkan “jihad” namun menjadikan mereka agen yang aktif.
Bagi kami, isu radikalisasi dan ekstrimisme tidak bisa dipisahkan dalam kerja-kerja berbasis perdamaian. Cara AMAN memandang ekstrimisme dengan lensa perempuan, perdamaian dan keamanan (women, peace and security) di mana ekstrimisme berdampak pada keamanan perempuan dan kekerasan berbasis gender. Maka,kerja-kerja pencegahan ekstremisme juga dikonseptulisasi juga mendorong situasi perdamaian, sehingga intervensi program di bidang pencegahan akan banyak mengingat di beberapa wilayah paska dan rawan konflik menunjukkan indikasi menguatnya kelompok radikal dan ekstremis. Selain menjadi kelompok rentan dan korban, perempuan juga memiliki genuinitas sebagai agen perdamaian. Dari pengalaman lapangan kami, program Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di 7 provinsi mampu mendorong lahirnya perempuan pemimpin baru yang memiliki inisiatif membangun ketahanan komunitas dari radikalisme dan kekerasan berbasis agama dan gender. Meminjam model transformasi konflik oleh John Paul Laderach, dengan meletakkan Sekolah Perempuan sebagai inkubator kepemimpinan perempuan telah mendorong pada rantai perubahan/transformasi baik di level individu, relasi, struktural dan kultural.
Transformasi Individu diwujudkan dengan memperkuat kesadaran dan berfikir kritis atas persoalan sosial, ekonomi, budaya dan politik, juga ekologi. Kelas belajar di Sekolah Perempuan telah memberikan ruang berbagi pengetahuan antar perempuan dan keluarganya serta menambah asupan pengetahuan terkait gender, bina damai, transformasi konflik, serta berbagai isu terkini seperti halnya radikalisme dan ekstremisme. Metode andragogi yang diterapkan mampu mengikis sentralisme pengetahuan yang tidak hanya melekat pada sosok guru atau tokoh saja, namun juga merekognisi dan menghadirkan pandangan dan pengalaman perempuan terkait dengan konflik dan perdamaian.
Buah dari Sekolah Perempuan ini adalah menguatnya kesadaran kritis perempuan akan hak-hak perempuan, sehingga mereka mampu mengklaim hak-hak mereka. Dari pengamatan dekat kami, mereka kini lebih aktif dan asertif mengkampanyekan relasi adil gender keluarga, menyebarkan ajaran dan nilai agama yang moderat, dan menyuarakan kebijakan yang ramah perempuan. Hal lainnya yang terlihat adalah militansi perempuan sebagai agen perdamaian (peacebuilder) untuk melindungi perempuan lainnya dan kelompok minoritas dari kekerasan. Hal ini tidak terlepas dari transformasi perempuan korban (seperti konflik sosial di Poso) menjadi pembuat perubahan, yang mengambil peran kepemimpinan pasca konflik.
Transformasi relasional dibangun melalui penguatan institusi keluarga. Transformasi dalam diri perempuan menjadikannya lebih mudah dan bisa sangat cepat membuka pintu-pintu transformasi di keluarga. Di keluarga, ibu-ibu anggota SP bukan saja membuka dialog dengan suami tentang berbagi peran tetapi secara pelan-pelan mensosialisasikan nilai yang diajarkan di SP sehingga mendorong keinginan para anak dan suami untuk terpicu belajar. Fondasi relasi gender dan relasi kuasa yang lebih adil dan setara, khususnya dengan orang terdekat seperti suami atau pasangan mulai terbangun.
Transformasi Struktural dimaksudkan untuk memperkuat komitmen pemerintah desa dalam mencegah kekerasan melalui institusionalisasi Sekolah Perempuan, meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan serta mendorong lahirnya kebijakan atau program yang sensitive gender dan perdamaian. 16 dari 39 Sekolah Perempuan mendapat pengakuan dari pemerintah desa melalui Surat Keputusan. Transformasi di pejabat pemerintahan desa ini dimanfaatkan oleh perempuan di desa untuk mengorganisir diri, memperkuat kesadaran hak politik dan mengartikulasikannya dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat desa bahkan kecamatan. Hasilnya, beberapa pemerintah desa di wilayah dampingan mengalokasikan anggaran desa untuk mendukung program yang dimotori Sekolah Perempuan.
Transformasi kultural dibangun di komunitas selain mendorong terciptanya mekanisme penyelesaian masalah, juga mampu mendorong budaya peduli dan cinta (caring and loving) kepada tetangga sehingga bisa merespon persoalan-persoalan KDRT maupun masalah lainnya seperti intoleransi, konflik karena pemilu dan pemilukada, serta merespon bencana yang dialami komunitasnya sendiri dan orang lain. Banyak dari SP menjadi tempat healing bagi perempuan korban kekerasan. Selain itu, Sekolah Perempuan menginisiasi ruang-ruang perjumpaan antar perempuan melalui program pertanian organik, forum anak, sanggar batik, pengajian, kampung ramah lingkungan, dan perayaan hari besar nasional. Di Poso, Sekolah Perempuan menghidupkan kembali budaya saling kunjung dalam perayaan hari besar keagamaan, setelah sekian lama redup karena konflik. Sampai saat ini, Sekolah Perempuan menjalin kerjasama dengan 33 lembaga atau komunitas yang memiliki visi sama untuk isu perempuan, toleransi dan perdamaian.
Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di 7 provinsi di Indonesia melibatkan 1800 perempuan lintas iman dari arus bawah
Fasilitator lokal dari internal Sekolah Perempuan yang memiliki pemahaman dan ketrampilan memfasilitasi kelas belajar dan advokasi
15 dari 31 pemerintahan desa/kelurahan di wilayah program mengakui Sekolah Perempuan sebagai organisasi pendidikan kritis dan pemberdayaan melalui surat keputusan desa/keluarahan
Ruang-ruang baru untuk transformasi diciptakan melalui aktor-aktor kunci yang baru pula. Pertama, membuka ruang transformasi ulama perempuan melalui Reflective Structured Dialogue (RSD). 9 kali dialog di 3 provinsi yang kami gelar dengan melibatkan 36 ulama perempuan dan tokoh perempuan lintas ideologi dan organisasi cukup berhasil membongkar prasangka dan judgment seseorang, dan lebih menghargai dan menerima pandangan individu dan keagamaan yang beragam. Penerimaan ini tumbuh setelah saling memberikan pandangan dan mendengar argumentasi individual dan keagamaan atas isu-isu yang mereka tertarik untuk didialogkan seperti pluralisme, kepemimpinan, poligami, label syariah. Ketika ulama perempuan sudah saling menerima dan berkomitmen untuk saling bekerjasama, maka akan cukup potensial untuk menggerakkan jamaah mereka untuk melakukan hal yang sama dengan kelompok yang berbeda.
“Sebagai konselor, suatu waktu saya mendapat tugas untuk menemui orang tua dari anak balita korban perkosaan. Keluarga dan tetangga kesal karena mereka tidak mau melaporkannya. Ketika bertemu orang tua korban, saya menggunakan cara RSD untuk berdialog dengan mereka, terutama untuk mendengar curhat mereka. Awalnya agak susah (berdialog) dengan mereka, dan selalu diulang-ulang karena mereka sangat shock. Namun akhirnya saya bisa menggali keinginan mereka dan menemukan solusi untuk tindak lanjut kasus ini” AnAn Yuliyanti, tokoh perempuan, Konselor P2TP2A Kabupaten Tasikmalaya.
Kedua, inisiatif Nyadran Perdamaian di Getas. Nyadran adalah tradisi tahunan untuk menyambut Ramadhan (bulan puasa) dengan serangkaian upacara, dimana semua orang Getas (baik Islam, Kristen, Hindu, Konghucu) mengunjungi makam dan berdoa bersama untuk leluhur mereka. Secara khusus, Nyadran direvitalisasi perannya untuk mengeksplorasi ruang kultural yang mempertemukan anak muda lintas iman dengan komunitas yang memiliki pluralitas agama. Selain mengalami toleransi, ke-30 anak muda yang terseleksi mengikuti rangkaian 3 hari Nyadran perdamaian ini merasakan bagaimana komunitas mempertahankan tradisi dan budaya yang menopang kohesi sosial dan kerukunan agama.
“Nyadran bagi saya seperti perayaan budaya, di mana semua orang yang terlibat dari kelompok agama yang berbeda-beda. Ini mengingatkan saya di masa kecil di desa saya yang sekarang (budaya itu) sudah tidak bisa dijumpai lagi” Muhanmad Afifi, Bondowoso