Tasikmalaya – Dalam upaya membangun perdamaian, peran perempuan tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka memiliki posisi yang sangat penting dan strategis sebagai agen perubahan dan aktor kunci dalam menciptakan harmoni di masyarakat. Perempuan, terutama mereka yang berada di level akar rumput, memiliki kemampuan unik untuk menciptakan ruang-ruang perjumpaan yang memfasilitasi komunikasi dan kerja sama antar berbagai pihak.
Kehadiran perempuan sebagai mediator perdamaian membawa perspektif baru yang seringkali luput dari pandangan. Mereka memiliki pendekatan yang lebih inklusif dan empatik dalam menyelesaikan konflik, yang pada gilirannya dapat menghasilkan solusi yang lebih berkelanjutan. Melalui interaksi sehari-hari di lingkungan mereka, perempuan mampu membangun jembatan pemahaman antar kelompok yang berbeda, mengurangi ketegangan, dan mempromosikan dialog yang konstruktif.
Untuk memperkuat hal tersebut, AMAN Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) telah melaksanakan Pelatihan Perempuan Mediator Perdamaian di Tasikmalaya dengan konsep Refreshment fasilitator RSD (Reflective Structure Dialogue) di Tasikmalaya, Kamis – Jumat (12-13 September 2024). Agenda ini berhasil meningkatkan kapasitas fasilitator perempuan dalam menggunakan metode Reflective Structured Dialogue (RSD) sebagai alat untuk memperkuat kohesi sosial dan menyelesaikan konflik di komunitas.
Agenda dihadiri oleh 15 orang dari berbagai latar belakang, seperti pengurus pesantren dan komunitas perempuan. Mulai dari Fasilitator RSD, Perwakilan dari Sekolah Perempuan Perdamian Cipakat, Lajnah Imailah ( Kelompok Ahmadiyah), Fatayat NU, PKK, Posyandu, Perwakilan Guru PAUD, Alumni Peserta RSD Desa Sukamaju, PUSPAGA dan Presidium Sekolah Perempuan.
Pada hari pertama, agenda dimulai dengan berbagi pengalaman mengenai dialog yang pernah mereka lakukan, baik yang menggunakan metode RSD maupun metode lainnya. Mereka juga mendiskusikan perbedaan antara dialog yang berbasis RSD dan non-RSD. Kemudian, pada hari kedua pelatihan difokuskan pada praktik dialog dengan kelompok santri menggunakan metode RSD. Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing membahas topik berbeda, seperti pengelolaan sampah, pembatasan penggunaan gadget, dan kekerasan dalam pacaran. Tantangan yang dihadapi termasuk kesulitan para santri dalam mengungkapkan perasaan dan pengalaman pribadi.
Menurut Co-Manager Women Managed Community Resilience AMAN Indonesia Ihah Solihah, selama agenda dua hari para fasilitator terus berupaya menciptakan suasana yang nyaman untuk berdialog. ”Peserta juga belajar mengenai pentingnya pengaturan ruang dan tata letak peserta dalam dialog untuk memaksimalkan efektivitas diskusi,” terangnya.
Pada akhir pelatihan, peserta merefleksikan pengalaman mereka selama dua hari tersebut. Mereka menyadari pentingnya dialog yang terstruktur untuk membangun pemahaman dan menyelesaikan konflik. Sebagai tindak lanjut, setiap peserta diminta menyusun rencana aksi yang akan diterapkan di komunitas masing-masing, dengan menggunakan metode RSD untuk memfasilitasi dialog di berbagai konteks, seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas agama.
”Pelatihan ini diharapkan dapat memperkuat peran perempuan sebagai mediator perdamaian di berbagai tingkatan masyarakat,” pungkasnya.