Jakarta – The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggelar Focused Group Discussion (FGD) untuk merefleksikan implementasi Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2020-2025. Agenda yang diikuti oleh 33 orang orang pewakilan Kementerian dan Lembaga digelar di Jakarta, Selasa (13 Agustus 2024).
Agenda tersebut, berhasilkan mengidentifikasi isu-isu kritis terkait ancaman keamanan perempuan, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi gender, pemahaman agama yang bias, dan ancaman di dunia digital. Selain itu, dalam agenda tersebut menekankan pentingnya penguatan partisipasi perempuan sebagai mediator konflik dan penciptaan lingkungan yang mendukung peran perempuan dlam penanganan konflik.
Agenda refleksi tersebut menjadi dasar untuk penyempurnaan implementasi RAN P3AKS ke depannya, dengan fokus pada penguatan koordinasi antar lembaga, peningkatan partisipasi perempuan, dan penyesuaian program sesuai konteks kekinian. Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menyoroti pentingnya evaluasi implementasi Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) yang telah berjalan selama satu dekade.
Ruby menekankan bahwa RAN P3AKS lahir sebagai respons terhadap mandat internasional Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325. ”RAN P3AKS mengingatkan kita bahwa dampak konflik, perang, dan berbagai ancaman terhadap perempuan dan anak berbeda dari kelompok lainnya,” ujar Ruby, saat membuka agenda.
Dia mengungkapkan, untuk memahami kekerasan berbasis gender dalam konteks konflik sangat penting, mengingat banyak pelanggaran HAM yang terjadi bukan hanya pembunuhan, tetapi juga kekerasan seksual. Dirinya juga menggarisbawahi adanya upaya sistematis yang menjadikan perempuan sebagai korban dalam situasi konflik. Namun, ia juga menekankan bahwa selama 10 tahun implementasi RAN P3AKS, perempuan tidak hanya berperan sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan.
”Kita telah melihat pengiriman perempuan dalam Pasukan Garuda ke misi PBB. Di tingkat akar rumput, perempuan menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam menangani konflik,” jelasnya.
Dia menyoroti pentingnya evaluasi terhadap partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik. Setiap penyelesaian konflik, pemimpin perempuan hadir di meja perundingan. Jangan sampai penyelesaian konflik masih sangat maskulin. Menanggapi perkembangan teknologi, dirinya mengingatkan bahwa dunia digital memberi perempuan kekuatan besar, namun juga meningkatkan kerentanan mereka.
”Ruang digital telah menjadi arena strategis untuk rekrutmen kelompok-kelompok tertentu,” tekannya
Terakhir, perempuan peraih N-Peace itu menekankan bahwa implementasi RAN P3AKS membutuhkan kerja sama lintas sektor. RAN P3AKS tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak. Dibutuhkan kerja sama lintas kementerian dan lembaga, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah.
”Evaluasi komprehensif ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk penguatan implementasi RAN P3AKS di masa mendatang, dengan fokus pada peningkatan partisipasi perempuan dalam resolusi konflik dan perlindungan di era digital,” pungkasnya.
Agenda yang digelar selama sehari tersebut, dimulai dengan pembukaan, diskusi pemantik dan diskusi kelompok. Dari yang dihimpun, Implementasi RAN P3AKS di Indonesia telah memasuki generasi kedua. Data Kemendagri mengungkapkan hingga Oktober 2023 menyebutkan sebanyak 22 provinsi telah memasukkan rencana aksi P3AKS dalam RAD PKS meski dengan bentuk rencana aksi yang berbeda-beda. Kemudian KemenPPPA dan AMAN Indonesia menunjukkan 12 provinsi telah mengesahkan RAD P3AKS melalui Peraturan maupun Surat Keputusan Gubernur.