Albania – Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menghadir Forum ICAN’s 2024 yang diadakan di Albania dari tanggal 2-5 Juni 2024. Agenda tersebut menghasilkan sejumlah hal untuk memperkuat peacebuilding di era pesimisme global. Forum ini berhasil mengumpulkan pemikir dan pelaku perdamaian dari berbagai negara untuk mengevaluasi tantangan dan mencari solusi inovatif dalam menghadapi konflik yang sedang berlangsung, seperti di Rusia-Ukraina, Libya, Iran, Irak, Afghanistan, Myanmar, dan Palestina.
Forum ini menyoroti bahwa pendekatan tradisional seperti diplomasi dan pembangunan ekonomi belum cukup efektif dalam menciptakan perdamaian. Melalui berbagai panel dan diskusi, peserta didorong untuk mengubah mindset menjadi lebih inovatif. Rosa Emilia dari Kolombia menekankan pentingnya inovasi di akar rumput oleh perempuan pembangun perdamaian yang tetap berjuang tanpa pendanaan besar.
Salah satu hasil signifikan adalah penguatan jejaring dan solidaritas di antara para peacebuilders. Jaringan masyarakat sipil diakui sebagai mekanisme penting untuk bertahan dan mendukung satu sama lain. Forum ini juga menekankan pentingnya membangkitkan kembali “ethics of care” sebagai kekuatan inti perempuan dalam peacebuilding, dengan fokus pada ketidakadilan dan pendekatan solidaritas lintas negara.
Forum mencatat bahwa 107 negara telah mengimplementasikan Resolusi 1325 tentang Women, Peace, and Security (WPS). Albania menunjukkan komitmen tinggi dengan 70% perempuan bekerja dalam birokrasi dan menyelenggarakan sesi khusus dengan Parlemen Nasional Albania untuk membahas inklusi perempuan dalam agenda WPS. Namun, forum ini juga mengkritisi rendahnya partisipasi politik perempuan secara global, yang hanya mencapai 18%.
ICAN memperkenalkan pendekatan autoethnography untuk memberdayakan perempuan peacebuilders agar menulis cerita mereka sendiri, menjaga originalitas dan kepemilikan cerita tersebut. Ini diharapkan dapat mengungkap latar belakang dan motivasi pribadi yang sering kali hilang dalam penulisan oleh pihak ketiga. Forum juga membahas penggunaan litigasi strategis untuk melawan gender apartheid dan mempromosikan agenda WPS, dengan contoh-contoh dari Meksiko, Indonesia, dan Afghanistan.
Forum ini menekankan pentingnya membangun dan mengelola jaringan atau koalisi yang efektif dalam peacebuilding. Kepercayaan, menghargai kontribusi sebelumnya, dan memberikan ruang yang setara bagi organisasi kecil dan besar diidentifikasi sebagai kunci sukses dalam berjejaring. Ada juga fokus pada bagaimana mengintegrasikan sumber daya yang ada dalam jaringan untuk memaksimalkan efektivitas dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan eksternal.
Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menjelaskan ICAN’s Forum 2024 memberikan wawasan penting dan langkah konkret untuk menghadapi tantangan peacebuilding di era pesimisme, menekankan pentingnya inovasi, solidaritas, dan pendekatan berbasis komunitas. Selain itu, dalam agenda tersebut terdapat satu sesi yang menjelaskan praktik baik Indonesia dan negara lainnya dalam implementasi WPS.
Praktik Baik WPS Melawan Gender Aparteid
Implementasi WPS di sejumlah negara telah berhasil melawan gender aparteid dengan ligitasi. Seperti Indonesia, Mexico dan Afghanistan. Di Indonesia melalui Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), telah berhasil melakukan transformasi pada metodologi tafsir yang meletakkan pengalaman dan pengetahuan perempuan sebagai baseline penting.
”Termasuk memasukan elemen konstitusi dan framework internasional sebagai bagian dari referensi penting perumusan fatwa, bersama dengan referensi keislaman yang berorientasi pada membangun kesetaraan dan perlindungan perempuan,” terangnya.
Pengetahuan transformatif ini diluaskan dan diakarkan melalui gerakan KUPI, didukung oleh individu dan institusi yang percaya bahwa islam adalah sumber damai bagi perempuan. Selain membahas KUPI, dibahas juga sejumlah konflik yang terjadi di berbagai negara. Dalam sesi tersebut menceritakan praktik baik lainnya di Mexico dan Afghanistan. Saat ini, Mexico berhasil membuat mekanisme internal negara untuk meresponkasus Femicida yang tinggi, sehingga tidak bergantung dengan mekanisme internasional.
”Di Afghanistan, pembatasan akses pendidikan pada anak gadis, dan kolepsnya mekanisme lokal, ditambah karakter rezim Taliban yang misoginis, mendorong para aktivis perempuan untuk melakukan kampanye memaksa komunitas internasional merespon situasi lokal,” pungkasnya.