Banda Aceh – Dalam agenda tersebut di bahas perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional terkena dampak konflik bersenjata dan perang. Resolusi 1325 mengakui peran penting wanita dalam upaya membangun perdamaian. Belum lama ini, anggota negara ASEAN menyatakan komitmen politiknya untuk menurunkan Regional Plan of Action on Women, Peace and Security (RPA WPS) dalam bentuk kebijakan dan intervensi program di tingkat nasional. Indonesia dan Filipina telah lebih dulu menjalankan Resolusi 1325 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan, jauh sebelum RPA disahkan.
Dua negara pioner inilah yang menjadi alasan pentingnya institusi kerjasama regional pada tingkat ASEAN. Hal tersebut dibahas dalam Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims”. Isu WPS dibahas dalam Planery 3 dengan tema ”Women, Peace and Security in Muslim World: New Development and Challenge” menghadirkan tiga orang narasumber.
Narasumber pertama, Secretary General of Asian Muslim Action Network (AMAN) Dwi Rubiyanti Kholifah. Kedua, Akademisi Fakultas Sosiologi dan Antropologi Thammasat University Asst. Prof. Dr. Amporn Marddent. Terakhir, Founder and CEO of the Global Network of Women Peacebuilders, Maria Victoria “Mavic” Cabrera Balleza, yang hadir secara online. Pada sesi tersebut di moderator oleh Program Direktur dari the Philippine Center for Islam and Democracy (PCID), Salma Pir T. Rasul.
Menurut Founder dan CEO dari Global Network of Women Peacebuilders (GNPW), Maria Victoria ”Mavic” menegaskan, Para imam besar agama tersebut menyerukan akhir perang, konflik, dan kerusakan lingkungan. Seperti, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Ajar Ahmed Al Tayyeb. Keduanya menekankan toleransi beragama dan kerjasama untuk kesejahteraan umat manusia. ”Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengambil langkah-langkah beragam untuk mengatasi kekerasan seksual terkait konflik dan tindakan kekerasan berdasarkan agama atau keyakinan,” terangnya.
Kebebasan Beragama atau Kepercayaan memainkan peran penting dalam mempromosikan dan melindungi kebebasan beragama atau kepercayaan di tingkat nasional, regional, dan internasional. Deklarasi Barcelona mengakui kontribusi positif agama terhadap perdamaian dan potensi mereka untuk memecah belah dan benci. Dirinya menegaskan jika organisasi hak perempuan perlu membela implementasi di lapangan.
Akademisi Fakultas Sosiologi dan Antropologi Thammasat University Asst. Prof. Dr. Amporn Marddent, menjelaskan tentang implementasi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS) di Thailand. ”WPS dianggap sebagai panduan di Thailand, tetapi belum diimplementasikan secara langsung oleh pemerintah,” tegasnya.
Dirinya menyoroti pentingnya memahami konteks selatan Thailand, di mana terdapat konflik bersenjata dan mayoritas penduduk Muslim. Di Thailand, perempuan berada di garis depan upaya membangun perdamaian dan melakukan advokasi perlindungan perempuan dan anak dalam konflik. Peran pemimpin agama sebagai pembangun perdamaian juga ditekankan.
Ada banyak hal yang telah dilakukan untuk mendukung agenda WPS di Thailand. Dalam kesempatan tersebut, dirinya menekankan pentingnya mengimplementasikan WPS dalam masyarakat Thailand untuk mempromosikan kesetaraan, keadilan, dan perdamaian. pentingnya melibatkan pelaku agama dalam mempromosikan kesetaraan gender dan perempuan, perdamaian, dan keamanan. Dirinya menekankan bahwa masalah-masalah ini saling terkait dan harus diatasi bersama.
Di tempat yang sama, Sekretaris Jendral AMAN, Ruby Kholifah membahas tantangan dan kemajuan dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan partisipasi dalam formulasi kebijakan. ”Masih ada kesenjangan pengetahuan di kalangan masyarakat sipil tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan,” tegasnya.
Namun, dia menekankan pentingnya kehendak politik di Indonesia dan peran masyarakat sipil dalam memastikan implementasi peraturan pemerintah. Ruby juga menekankan perlunya kesetaraan gender untuk diatasi melampaui hanya diskusi ritual dan memuji kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai cara untuk mengatasi ketidaksetaraan gender melalui koneksi dengan kelompok yang lebih besar yang mencakup ulama perempuan.
Dirinya juga menyoroti perlunya meningkatkan kesadaran tentang partisipasi perempuan dalam proses perdamaian di luar situasi konflik. ”Kita perlu belajar dari negara lain dan bekerja dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga pemerintah, dan media untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif,” terangnya.
Sebanyak 337 orang (178 perempuan dan 159 laki-laki) hadir secara offline yang berasal dari 17 negara yaitu Australia, Bangladesh, Germany, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, the Philippines, Singapore, Sri Lanka, Sweden, Thailand, the United States. Latar belakang peserta yang hadir sangat beragam yaitu kalangan praktisi, akademisi, ulama perempuan, pemerintah, mitra pembangunan, pekerja sosial, aktivis dan media.
Agenda Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 14-17 Oktober 2023. Agenda yang digelar empat hari tersebut, membahas Inklusi keagamaan menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua masyarakat dunia.
Mulai dari pencapaian umat Islam dalam mempromosikan kebebasan beragama, toleransi, dan perdamaian, termasuk mendukung kepemimpinan perempuan dan anak muda dalam pembangunan perdamaian serta mendiskusikan berbagai persoalan humanitarian, crisis, pengungsian dan Aceh menjadi salah tujuan pengungsian Rohinya dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir, dibahas juga perlawanan masyarakat dengan pendekatan negosiasi, serta kekerasan ekstremisme dari konteks anak muda dan perempuan.