Banda Aceh – Di Indonesia, Aceh menjadi salah provinsi yang menggunakan hukum syariah. Terdapat satu pertanyaan, bagaimana mempromosukan keberagaman agama serta Pembangunan perdamaian? Hal tersebut dibahas dalam planery dua di Konferensi Internasional dan AMAN Assembly, yang membahas Hukum Syariah dan Promosi Keberagaman Agama serta Pembangunan Perdamaian. Terdapat dua orang pembicara yang membahas hal tersebut, yaitu Profesor Fikih Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Aceh, Prof. Dr. Soraya Devy, M.A. Serta, Pendiri dan Mantan Sekretaris Jenderal Asian Muslim Action Network (AMAN), Muhammad Abdus Sabur.
Dalam kesempatan tersebut Profesor Fikih UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Soraya Devi, M. A menjelaskan pendidikan bagi generasi milenial dan peran orang tua dalam mendidik anak. Dirinya memberikan kategori kepada sejumlah generasi dalam melakukan pengasuhan. Seperti pada generasi minenial yang mana memiliki karakter konservatif atau komunal, sedangkan generasi baby boomer telah mendapatkan kebijaksanaan dari pengalaman.
”Dalam pengasuhan milenial seperti konsistensi antara orang tua, waktu berkualitas bersama, komunikasi melalui teknologi, dan penggunaan media sosial di kalangan milenial yang memengaruhi kesehatan mental dan emosi mereka,” terangnya.
Dirinya juga mendorong orang tua untuk beradaptasi dengan perubahan dalam sistem pendidikan dan mempersiapkan anak-anak untuk masa depan. Serta mempromosikan kesetaraan gender dan tanggung jawab yang sama antara pria dan wanita dalam pengasuhan anak. ”Diperlukan komunikasi efektif dan komitmen dalam pengasuhan anak. pentingnya beradaptasi dengan berbagai situasi dalam keluarga dan mempromosikan nilai-nilai seperti rasa hormat dan kesetaraan” tegasnya.
Pembicara kedua, membahas pendekatan untuk mendorong Keberagaman Agama dan Pembangunan Perdamaian, Hal tersebut dijelaskan oleh Pendiri dan Mantan Sekretaris Jenderal AMAN, Muhammad Abdus Sabur. ”Banyak orang di berbagai negara menghadapi masalah buta huruf, tetapi kemajuan sedang dicapai melalui pendidikan dan organisasi masyarakat sipil. Agama tidak dapat menjadi satu-satunya dasar persatuan, seperti yang terjadi dalam pemisahan Pakistan menjadi Bangladesh,” terangnya.
Meskipun demikian, lanjutnya, masih ada beragam komunitas agama yang hidup berdampingan di Bangladesh. Rasa hormat, penghargaan, dan solidaritas di antara budaya dan agama yang berbeda dapat membawa dunia yang lebih damai. Berdasarkan pengalaman pribadinya, menunjukkan bahwa bepergian dan bertemu dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda menghapus perbedaan.
”Rasa hormat saling, demokrasi, dan mendengarkan dengan aktif diperlukan untuk masyarakat yang harmonis. Membantu satu sama lain ketika terjadi bencana alam dapat membangun ikatan komunitas. Saya belajar dari komunitas Kristen dan Hindu dan itu sangat berharga,” terangnya.
Dirinya menekan, pentingnya melintasi batas terletak pada peluang yang disajikan untuk terhubung dengan orang lain pada tingkat yang lebih dalam di luar hambatan agama atau kewarganegaraan. Solidaritas di antara manusia seharusnya melampaui agama, Sebab sebagai manusia memiliki tanggung jawab untuk saling mendukung dalam masa-masa sulit.
Dirinya menjelaskan jika komunitas keagamaan dapat memainkan peran penting bersama masyarakat sipil dalam memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Di sejumlah negara masih ada masalah tunawisma dan kurangnya bantuan bagi mereka yang membutuhkan. ”Sangat penting untuk memahami keragaman budaya dan saling membantu. Dengan begitu dapat mendorong tindakan kecil kebaikan untuk membuat perubahan di dunia,” pungkasnya.
Sebanyak 337 orang (178 perempuan dan 159 laki-laki) hadir secara offline yang berasal dari 17 negara yaitu Australia, Bangladesh, Germany, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, the Philippines, Singapore, Sri Lanka, Sweden, Thailand, the United States. Latar belakang peserta yang hadir sangat beragam yaitu kalangan praktisi, akademisi, ulama perempuan, pemerintah, mitra pembangunan, pekerja sosial, aktivis dan media.
Agenda Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 14-17 Oktober 2023. Agenda yang digelar empat hari tersebut, membahas Inklusi keagamaan menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua masyarakat dunia.
Mulai dari pencapaian umat Islam dalam mempromosikan kebebasan beragama, toleransi, dan perdamaian, termasuk mendukung kepemimpinan perempuan dan anak muda dalam pembangunan perdamaian serta mendiskusikan berbagai persoalan humanitarian, crisis, pengungsian dan Aceh menjadi salah tujuan pengungsian Rohinya dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir, dibahas juga perlawanan masyarakat dengan pendekatan negosiasi, serta kekerasan ekstremisme dari konteks anak muda dan perempuan.