Poso – Kongres Sekolah Perempuan dan Forum Perempuan Perdamaian yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Persatuan Sekolah Perempuan Perdamaian (PSPP) mencapai puncaknya dengan acara Padungku di Desa Watuawu, Kabupaten Poso, Jumat (22 September 2023). Acara tersebut tidak hanya menandai penutupan acara, tetapi juga merupakan perayaan atas pencapaian besar para perempuan dalam mewakili tujuh provinsi melalui terpilihnya tujuh presidium baru.
Ketujuh presidium yang terpilih, yaitu Ibu Rohimah (Jakarta), An-an Yuliati (Jawa Barat), Wiwik Hikmawati (Yogyakarta), Raudlatun Odax (Jawa Timur), Mir’atun Syarifah (Nusa Tenggara Barat), dan Bertha Lasampa (Sulawesi Tengah), dengan Jawa Tengah masih dalam tahap diskusi. Ketujuh presidium dihasilkan melalui proses demokrasi yang melibatkan perwakilan anggota Sekolah Perempuan dari berbagai wilayah.
Sekolah Perempuan telah berkembang pesat, dengan sekarang sudah ada 44 Sekolah Perempuan yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah. Ruby Kholifah, Direktur AMAN Indonesia, berharap bahwa kehadiran ketujuh presidium baru akan membawa Sekolah Perempuan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pada acara Padungku, perempuan yang masuk dalam 100 perempuan dunia berprestasi versi BBC merefleksikan makna dari agenda Padungku. ”Padungku sendiri adalah pesta tradisional yang melambangkan rasa syukur atas panen pertanian. Acara ini telah menjadi bagian dari budaya turun-temurun di Watuawu, Kabupaten Poso, Sulawesi. Namun, Padungku bukan hanya perayaan semata, melainkan juga ajang interaksi sosial antar masyarakat untuk merawat perdamaian,” terangnya dalam sambutan Padungku.
Selain Padungku di Poso, ada juga agenda serupa bernama Nyadran di Temanggung, Jawa Tengah. Dalam acara-acara seperti ini, tercipta interaksi sosial yang memperkaya kehidupan masyarakat. Agenda seperti, ungkapnya, Padungku dan Nyadran memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dalam masyarakat Indonesia.
Dirinya menjelaskan, dalam agenda Padungku bukan hanya agenda perayaan saja. Melainkan terdapat interaksi warga dalam agenda tersebut. Dalam setiap pelaksanaannya, terdapat interaksi sosial antar masyarakat untuk merawat perdamaian. Dirinya menegaskan jika Padungku harus tetap ada sebagai rasa syukur mengenai banyak hal yang diterima oleh warga. ”Sehingga, agenda seperti ini harus tetap ada. Padungku bukan hanya sebagai perayaan saja. Lebih dari itu, untuk merawat perdamaian yang ada di masyarakat agar tetap terjaga,” pungkasnya.
Sekolah Perempuan sendiri dideklarasikan pada Kongres Sekolah Perempuan I di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur pada 25 Maret 2014, yang dihadiri oleh perwakilan dari enam Sekolah Perempuan. Saat ini, Sekolah Perempuan telah menunjukkan komitmen nyata dalam membangun perdamaian melalui berbagai praktik positif di berbagai wilayah, seperti kepemimpinan perempuan, advokasi perlindungan anak, pemberdayaan perempuan melalui usaha mikro, dan dukungan di tengah krisis sosial.
Kongres Sekolah Perempuan dan Padungku di Watuawu menggambarkan bagaimana perempuan di Indonesia tidak hanya aktif dalam membangun perdamaian, tetapi juga menjaga tradisi dan budaya yang memperkaya kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu, perempuan, perdamaian, dan kekayaan budaya menjadi elemen kunci dalam memahami peran Sekolah Perempuan dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan.