Global Network of Women Peacebuilders (GNPW) dan Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia meluncurkan Policy Brief “Intersections of Women, Peace and Security (WPS), Youth, Peace and Security (YPS) and Humanitarian Action across Southeast Asian Nations” secara hybrid di Jakarta, Senin (13 Februari 2023). Sebanyak 28 orang yang terdiri dari UN Agency, ASEAN Bodies, CSO dan kelompok anak muda menyoroti pentingnya penerapan kebijakan WPS dan YPS. Selain itu, peserta yang hadir juga merespon aksi kemanusiaan yang terjadi di Asia Tenggara. Termasuk peran perempuan dan pemuda dalam membangun perdamaian dan advokasi hak asasi manusia..
Sejak 2017, Kebijakan WPS dan YPS telah menjadi perhatian bagi negara-negera yang berada di Asia Tenggara. Beberapa negara di Asia Tenggara telah memperlihatkan model kepemimpinan perempuan dalam proses perdamaian, Salah satunya adalah negosiasi antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro. Saat ini, Indonesia dan Filipina telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional (RAN) mengenai resolusi United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325, yang menekankan pentingnya peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan.
Di Indonesia sedang menerapkan periode kedua dari RAN. Sedangkan, Filipina sedang mengembangkan periode keempat dari RAN dan generasi kedua dari RAN Regional mengenai WPS di Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM). Dalam agenda tersebut, terdapat rekomendasi sebagai aksi nyata untuk memperkuat peran ASEAN dalam pencegahan konflik, membangun perdamaian, dan aksi kemanusiaan di Asia Tenggara.
Direktur Program GNWP, Katrina LecLerc menerangkan, kolaborasi atau gerakan kolektif mampu mendorong terbentuknya suatu kebijakan. Serta membangun kesadaran publik dalam merespon terkait isu Women, Peace and Security (WPS), Youth Peace and Security (YPS) dan Myanmar Crisis menjadi isu bersama.
Dalam kesempatan tersebut, Country Representative The Asian Muslim Action (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah memaparkan kerja jaringan atau simpul AMAN dengan melibatkan perempuan dan pemuda sebagai aktor. Mulai dari Peace Leader Indonesia sebagai perkumpulan pemuda lintas iman yang mengkampanyekan dan menciptakan perdamaian dan budaya anti kekerasan di lembaga pendidikan, tempat ibadah, bahkan cafe/warung kopi dan ruang publik lainnya.
”Kemudian, ada juga Puan Menulis, komunitas perempuan penulis yang aktif menyebarkan narasi progresif dan mengcounter kontra narasi di ruang digital. Selain itu, GA4P juga mengambil peran dalam memberikan ruang aman dan nyaman khususnya bagi perempuan remaja dan edukasi terkait kesehatan reproduksi, “ ungkapnya.
Terakhir, diungkap olehnya, Sekolah Perempuan Perdamaian yang bergerak di akar rumput dalam menyuarakan isu gender, dan pencegahan ekstremisme. Melihat gerakan-gerakan tersebut, konsolidasi gerakan menjadi agenda yang sangat penting untuk memperkuat basis di tingkat lokal, nasional, hingga dapat menjangkau regional maupun global.
”Diharapkan para pemangku kepentingan, baik lokal, nasional, regional, maupun global, termasuk Negara Anggota ASEAN dan PBB. Semua stakeholder dapat menunjukkan komitmen dan keinginan politik yang kuat untuk menerapkan kebijakan WPS dan YPS,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya menegaskan jika perlu memberikan pengakuan yang lebih besar pada peran perempuan dan pemuda dalam membangun perdamaian dan advokasi hak asasi manusia. ”Serta dapat kontribusi positif bagi peningkatan kesadaran dan penanganan krisis di Asia Tenggara. Terutama, yang terkait dengan situasi di Myanmar,” pungkasnya. (Yuyun Khairunnisa)