Aceh merupakan wilayah bekas konflik yang telah melakukan perundingan damai dengan pemerintah indonesia sejak 15 tahun silam. Namun untuk menyelesaikan konflik tidak dapat dilakukan hanya dengan penandatanganan MoU semata. Butuh itikad baik pemerintah untuk membangun damai di tengah-tengah masyarakat sebelum pembangunan terus menerus dilakukan di Aceh.
Penyelesaian konflik ini tentunya tak mudah, selain konflik masa lalu yang masih berkecamuk di hati masyarakat Aceh. Konflik-konflik kekinian pun tidak dapat dihindari. Beberapa konflik kekinian yang terjadi di Aceh memiliki benang merah dengan konflik yang terjadi. Jika terus diabaikan ini akan menjadi “bak api di dalam sekam” dan terus membara.
Pada 23 hingga 24 Maret 2021, Balai Syura bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak dengan di fasilitasi oleh The Asian Muslim Action Network menyelenggarakan Workshop Sosialisasi RAN P3AKS 2020-2024 dan Finalisasi Draft RAD P3AKS Aceh untuk Periode 2020 – 2024 di Hotel Kyriad Banda Aceh. Pertemuan ini bertujuan untuk mendorong pemerintah Aceh untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Perlindungan Dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAD P3AKS) yang sempat gagal di susun pada periode 2016-2015.Padahal pada masa itu Aceh menjadi daerah pertama yang mengusung RAD P3AKS ini. Namun saat ini Aceh telah di dahului oleh 8 provinsi lainnya yang lebih dahulu mengesahkannya.
Pertemuan ini turut mengundang intansi dan organisasi masyarakat yang terkait : Dinas Pendidikan, Kesbangpol, Badan Reintegrasi Aceh,BPBA, Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi, Bappeda, UPTD PPA, FKUB, Flower Aceh, Pusat Studi Gender Unsyiah, Perempuan excombatan dan Perempuan lintas iman demi menggalang kekuatan bersama menyelesaikan konflik yang terjadi ditengah masyarakakat terutama bagi perempuan dan anak
Kepala Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, Nevi Ariyani mengungkapkan ”Perempuan dan dan anak cenderung lebih rentan terhadap kekerasan, termasuk kekerasan seksual apa lagi dalam wilayah konflik sosial, hal ini sesuai amanat penanganan konflik social dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Perpres Tersebut sebagai dasar pemerintah pusat dan daerah melindungi perempuan dan anak berbasis gender di wilayah konflik, dan juga memfasilitasi peningkatan kapasitas dan perempuan dan anak dalam upaya pencegahan konflik kekerasan dan membangun perdamaian” yang menjadi alasan mengapa RAD P3AKS ini hendaknya segera diselesaikan. Selain soal keadilan konflik masa lalu yang belum ditegakkan, Menurut Ibu Nevi Ariani angka kekerasan di Aceh punn tergolong tinggi.
Salah satu perempuan excombatan yang hadir ditengah-tengah workshop juga mengungkapkan bawah ada sekitar 2000 orang perempuan yang sama sepertinya tidak tersentuh pemberdayaan oleh pemerintah seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki tahun 2015. Mereka terabaikan, kehilangan suami, terjerat dalam ekonomi yang sulit bahkan beberapa terlibat dalam lingkar kriminalitas yang terpaksa harus dilakukan. Semua itu memiliki kaitannya dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Tak hanya soal perempuan ekscombatan, perempuan masyarakat umum yang menjadi korbanpun masih banyak yang luput dari perhatian. Hingga saat ini hasil rekomendasi dari KKR Aceh ada 109 orang perempuan yang diajukan untuk penanganan penyelesaian masa lalu.
Belum lagi konflik penyerangan rumah ibadah yang terjadi di Singkil pada tahun 2015 yang juga sampai saat ini masih menyisakan trauma yang mendalam bagi masayarakt. Serta beberapa gesekan-gesekan yang menyeret isu keagamaan di tengah konflik di beberapa wilayah Aceh.
Tak hanya itu, prediksi-prediksi menyoal konflik-konflik masa kini juga patut di antisipasi seperti isu pilkada yang dilakukan selama 5 tahun sekali, Isu pengesahan kebijakan yang biasanya terjadi pro dan kontra atau isu ekstrimisme yang Menurut Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme melalui risetnya bahwa Aceh memiliki potensi untuk munculnya bibit-bibit ekstrimisme. Mengingat bahwa Aceh pernah terjadi konflik yang sarat akan kekerasan tidak menutup kemungkinan untuk membuat Aceh kembali bergolak.
RAD P3AKS ini tidak hanya berbicara terkait dengan penanganan konflik pada saat itu, namun juga meliputi pencegahan agar konfli sosial tidak terjadi di masyarakat, kemudian juga pemberdayaan akan dilakukan bagi korban yang menjadi korban. Mengingat urgensinya pembentukan Rencana aksi daerah ini forum bersepakat untuk membentuk tim kecil yang terdiri dari DP3A, Kesbangpol, Bappeda, BRA, KKR Aceh, FKUB Aceh, FKPT Aceh, Dinas Pendidika, PSG Unsyiah , Flower Aceh dan Balai Syura untuk penyusunan kembali RAD P3AKS untuk provinsi Aceh.
Sumber: http://balaisyura.com/2021/04/14/urgensi-penyusunan-rencana-aksi-daerah-perlindungan-dan-pemberdayaan-perempuan-dan-anak-dalam-konflik-sosial-di-aceh/