Vonis ringan Majelis Hakim PN Pontianak yang menjatuhkan vonis 4 bulan 15 hari untuk 21 pelaku pengrusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Bale Harapan, Sintang, Kalimantan Barat pada 06 Januari 2022 yang lalu, yang didahului dengan rentetan proses sidang yang janggal dan malah mengadili keyakinan Ahmadiyah ketimbang substansi kasus yang dipersidangkan, menunjukkan bahwa lembaga peradilan tidak berpihak pada komunitas JAI Sintang yang menjadi korban pelanggaran hak KBB.
Hal tersebut diperparah dengan Surat Peringatan (SP) 3 yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sintang yang memerintahkan warga JAI Sintang untuk membongkar sendiri rumah ibadah mereka. Surat yang dikeluarkan pada tanggal 07 Januari 2022, tepat sehari setelah vonis ringan pelaku dikeluarkan oleh PN Pontianak, memberikan tenggat waktu selama 14 hari, yang jatuh pada 21 Januari 2022. Secara sangat kebetulan, ini bertepatan dengan keluarnya para pelaku yang menamakan dirinya Aliansi Umat Islam, dari tahanan. Sebagai informasi, ada pelaku yang juga secara terang-terangan mengujarkan ancaman dan ujaran kebencian di ruang sidang.
Dalam SP 3 Pemerintah Kabupaten Sintang memframing masjid sebagai Bangunan tanpa ijin yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Bupati dengan sengaja enggan dan menghindari menyebut masjid karena tidak mau berpedoman kepada Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 Menteri) Nomor: 9 Tahun 2006 Nomor: 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. PBM 2 Menteri tersebut tidak memberi ruang kepada Bupati untuk menjatuhkan sanksi perobohan, berdasarkan PBM 2 Menteri tersebut penyelesaian perselisihan rumah ibadah harus diselesaikan dengan musyawarah bahkan menjadi tugas dan kewajiban Bupati untuk menerbitkan IMB rumah Ibadah.
Juga patut dipertanyakan sikap Bupati yang mempermasalahkan izin bangunan di Desa Balai Harapan karena faktanya tidak ada rumah ibadah di Desa Balai Harapan yang memiliki IMB. Jadi tindakan Bupati yang mempermasalahkan IMB Masjid Miftahul Huda adalah tindakan diskriminatif dan melanggar HAM. Selain itu tindakan Bupati yang akan membongkar masjid Miftahul Huda sejalan dengan kemauan kelompok intoleran (Aliansi Umat Islam) yang menginginkan Masjid Miftahul Huda dirobohkan.
Saat ini, terjadi eskalasi ketegangan yang mengancam keamanan warga JAI Sintang. Hal ini ditandai oleh salah satunya munculnya spanduk-spanduk penolakan Ahmadiyah dari Aliansi Umat Islam, persis seperti situasi menjelang peristiwa perusakan Masjid Miftahul Huda pada 03 September 2021 lalu.
Situasi-situasi di atas menunjukkan bahwa alih-alih sistem peradilan seharusnya menjamin ketidak-berulangan, justru hari ini komunitas korban warga JAI Sintang setidak-tidaknya menghadapi 3 masalah besar, yakni:
- Ancaman pembongkaran melalui SP 3 yang dikeluarkan oleh Pemkab Sintang;
- Penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban; dan
- Tidak adanya jaminan keamanan bagi korban pasca selesainya proses peradilan.
Menyikapi hal itu, Tim Advokasi KBB telah melakukan beberapa langkah komunikasi dengan beberapa Kementerian/Lembaga. Setara Institute telah mengirimkan surat ke Kemendagri dan Kemenkopolhukam menginformasikan terkait SP 3 yang dikeluarkan Pemkab Sintang. Pemkab Sintang sendiri juga telah disurati Komite Hukum JAI dengan desakan untuk mencabut SP 3 yang dikeluarkannya. Surat-surat serupa juga dikirimkan ke Ombudsman RI dan Ombudsman Kalimantan Barat oleh Komite Hukum JAI, serta melanjutkan komunikasi dengan KY yang dilakukan oleh Komite Hukum JAI dan YLBHI.
Terkait keamanan, AMAN Indonesia juga telah mengirimkan surat ke Pokja PKS Kemendagri mengupayakan keamanan bagi perempuan dan anak di lokasi. Komite Hukum JAI juga telah bersurat ke Mabes Polri untuk meminta perlindungan hukum.
Perihal jaksa yang diduga melakukan penyelewengan dalam proses hukum, Setara Institute juga telah menghubungi Komisi Kejaksaan agar jaksa yang menangani kasus JAI Sintang diperiksa.
Segala daya upaya telah dilakukan Tim Advokasi KBB dalam rangka menuntut keadilan serta pemulihan hak bagi korban. Hingga rilis pers ini dikeluarkan, belum ada tanggapan dari instansi-instansi terkait yang telah dihubungi. Pemerintah perlu memastikan agar tak ada ruang bagi kelompok intoleran, karena bagaimanapun, membuka ruang bagi kelompok intoleran sama dengan membiarkan bibit-bibit ekstremisme tumbuh di Indonesia. ini tentu tak sejalan juga dengan program pemerintah menanggulangi ekstremisme sebagaimana tertuang dalam RAN PE.
Jangan sampai rezim ini melakukan hal yang sama seperti halnya rezim terdahulu, memberi ruang bagi kelompok intoleran untuk mengambil peran dalam politik kewargaan yang berimbas pada pengrusakan sendi-sendi kebhinekaan.
Jakarta, 14 Januari 2022 Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Tim Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (YLBHI, Setara Institute, KontraS, Imparsial, SEJUK, HRWG, Sobat KBB, Human Rights Watch (HRW), Komite Hukum JAI, MKA Indonesia, AMAN Indonesia, Inklusif)