Faktor pendukung radikalisme tidaklah tunggal, di antaranya kemiskinan, kekecewaan politik, pengaruh keagamaan. Dalam kasus di Indonesia, paham keagaaman banyak memengaruhi terbentuknya ideologi radikal dan ekstremis. Dimulai dari cara pandang sekulerisme dan “westernisasi” yang dianggap menggerogoti Islam, dianggap mengikis identitas keislaman baik dari gaya hidup seperti berpakaian dan lainnya. Di samping itu juga menguatnya purifikasi dalam Islam yang mengajarkan beragama secara rigid dan kaku, cenderung hitam dan putih yang berpotensi menihilkan pandangan lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya.
Dalam banyak kasus, perempuan yang terpapar paham radikal meyakini bahwa mereka adalah rahim bagi para (calon) syuhada. Maka, memproduksi anak sebanyak-banyak termasuk dengan cara dipoligami-pun mereka lakukan yang diyakini bagian dari jalan ‘jihad’ (dalam konteks ini kami maknai seruan menegakkan syariat Islam dengan cara kekerasan). Mereka juga percaya bahwa ketaatan pada suami dan imam adalah mutlak, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendukung ajakan ‘jihad’ (calling jihad). Masih banyak lagi pekerjaan rumah kelompok progresif dalam merebut kembali tafsir terhadap baseline teologi Islam yang banyak dibajak kelompok radikal ekstremis untuk kepentingan gerakan dan politik mereka, seperti jihad, hijrah, niqab, poligami, label Syariah dll. Di sinilah peran ulama perempuan yang progresif dinantikan dalam membangun argumentasi teologis yang alternatif yang mungkin tidak sekuat CSO atau aktivis lakukan. Di samping itu, pencegahan dan deradikalisasi juga membutuhkan kerja keulamaan perempuan.
Radikalisme juga mentargetkan kelompok anak muda. Dalam lima tahun, lembaga-lembaga survei yang kredibel telah memprediksi dan mengkalkulasi anak muda yang terpapar radikalisme dan siap menjadi bagian gerakan ekstremisme, terutama bagi siswa/i di sekolah umum baik negeri maupun swasta. Tanda-tandanya dapat dilihat dari berkembangnya sekolah berbasis identitas agama yang tidak saja menutup pengalaman langsung berinteraksi dengan yang berbeda, tapi juga menciptakan segregasi sosial. Tanda lainnya, anak-anak yang teradikalisasi menolak mengikuti upacara bendera, dan watak indoktrinasi untuk memusuhi yang berbeda. Minimnya pendampingan siswa dan hilangnya ‘sekolah’ kritis di keluarga dan masyarakat ditengarai berkontribusi pada lemahnya disengagement anak muda dalam lingkran radikalisme. Maka dibutuhkan satu bentuk pola pengorganisasian yang kreatif dengan perspektif gender dan perdamaian untuk membuka ruang-ruang perjumpaan anak muda dari kelompok agama dan kepercayaan yang berbeda.
Sebagai ikhtiar memperkuat dan menyebarkan narasi progresif, AMAN memfasilitasi proses penguatan kapasitas dan memperluas peran ulama perempuan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indoensia) di level internasional. Di level nasional, AMAN menggandeng Rahima untuk penguatan upaya pencegahan radikalisme dan ekstremisme oleh ulama perempuan. Kiprah ulama perempuan dalam pencegahan ekstremisme sangatlah penting dan banyak ditunggu berbagai pihak sesuai mandat atau rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama di Cirebon 2017. Ulama perempuan memiliki syarat sebagai garda depan pencegahan ekstremisme. Pertama, keualamaan mereka terbangun melalui ragam disiplin keilmuan keagamaan yang mencerminkan keluasan wawasan keislaman yang moderat dan damai. Kemampuan ini juga di dalamnya membuat narasi alternatif maupun yang kontra narasi radikal dengan referensi al-quran dan hadist maupun ijma’ ulama. Kedua, ulama perempuan memiliki basis jamaah yang bisa menjadi benteng ketahanan masyarakat dari gempuran paham ekstremis. Melalui pelatihan dan pendampingan, 76 ulama perempuan terpilih memiliki pengatahuan dan ketrampilan mereka dalam membaca tren dan tanda radikalisme di masyarakat, serta bagaimana strategi melakukan pencegahan baik secara personal maupun bersama aktor-aktor kunci lainnya (baik pemerintah maupun CSO).
“Dengan pelatihan itu, saya jadi paham isu ini (ekstremisme). Saya merasa punya kewajiban untuk menyebarkannya ke ibu-ibu yang lain karena jamaah saya kan mahasiswa. Jadi setelah pelatihan saya membentuk majlis taklim (Khadeeja Halaqah Aswaja) dengan mengajak ibu-ibu sekitar tempoat tinggal saya agar mereka tidak terpapar paham radikal dan ekstremis itu” ibu Novi Rosita, PC Muslimat kota Malang
Di level internasional, AMAN menggandeng Centre for Excellence on Women and Social Security (CEWSS), Universitas Walailak Thailand untuk mengembangkan sayap dan pengaruh KUPI. Dimulai dengan memprakarsai dialog dengan Lembaga-lembaga Islam di Thailand Selatan, yaitu Universitas Fatoni, Syekhul Islam (Dewan Ulama) dan the Council of Muslim Women’s Organization Cooperation for Peace yang menghadirkan tokoh dengan teologi literalis, dan konservatif. Dialog ini juga dihadiri aktor-aktor kunci di bidang studi Islam, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dari Thailand, Indonesia dan Malaysia. Dari dialog ini, KUPI memberikan pandangan tentang “silaturrahim” (mmebangun relasi) dan kepemimpinan perempuan Muslim dalam pengetahuan agama di Thailand Selatan.
Membawa narasi kesalingan perempuan dan laki-laki untuk membicarakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dialog dengan kelompok Salafi menjadi lebih terbuka, termasuk menyentuh isu-isu kekerasan berbasis gender di daerah konflik di Thailand Selatan. Ketika kasus perkawinan anak paling melelahkan di Pattani, Komite Islam di tingkat provinsi hanya memiliki sedikit pengetahuan untuk meresponnya karena tidak ada wakil perempuan dalam komite tersebut. Dialog ini menyepakati pentingnya kolaborasi KUPI dan ulama di Thailand dalam mempromosikan peran ulama perempuan, dan pentingnya keterwakilan ulama perempuan dalam komite Islam di tingkat provinsi.
Sebagai tindak lanjutnya, AMAN dan Walailak University kembali memfasilitasi dialog di Chiang Mai, yang secara spesifik mendiskusikan peran lembaga keislaman dalam pencegahan/penghentian kekerasan terhadap perempuan. dialog ini menghadirkan ulama dari Thailand (Pattani, Yala), Malaysia dan KUPI sebagai representasi Indonesia. Dialog ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip Islam dan strategi bersama ulama dalam penghentian kekerasan terhadap perempuan. Jika Sekolah Perempuan menjadi lokomotif ketahanan komunitas, maka Peace Leader (PL) dan Girl Ambassadors for Peace (GA4P) menjadi lokomotifnya gerakan anak muda yang digerakkan dengan collective leadership, bertumpu pada volunterisme dan berjejaring untuk memobilisasi anak muda dalam agenda pembangunan perdamaian ‘ala’ anak muda. Pertama, memfasilitasi tumbuhnya peer learning di antara pemuda lintas iman melalui #NgoPeace dan #PeaceService. NgoPeace (ngobrolin perdamaian sembari minum kopi) mendekatkan isu perdamaian ke anak-anak muda yang tidak terlalu hobi diskusi di kampus. Dengan datang dan mengajak mereka diskusi sembari nongkrong dan minum kopi, topik yang berat menjadi menarik dan ringan dibicarakan. Untuk menarik antusiasme anak muda, Peace Leader mengundang narasumber tamu yang kompeten baik dari aktivis dan akademisi.
“Banyak anak muda tertarik dengan Peace Leader. Tiap ada NgoPeace selalu ramai café saya. Tema yang diangkat selalu aktual dan beberapa kali mengundang tokoh” Abdul Muis, anak muda pegiat literasi dan pemilik café Oase
Sementara PeaceService bertujuan mengajak anak muda untuk mencintai penganut agama lain dengan mendatangi dan membersihkan rumah-rumah ibadah sembari berdialog dengan pengurus rumah ibadah. Peace Service adalah ajakan mengalami toleransi aktif bagi anak muda yang tidak memiliki pengalaman hidup bersama dengan orang yang berbeda agama/keyakinan, atau memiliki ketakutan dan prasangka atas agama lain. Sebelum berdialog dengan pengurus rumah ibadah, anak-anak muda ini diajak untuk mengasah kepeduliannya dengan membersihkan rumah ibadah. Pergolakan batin kerap muncul dalam diri mereka, seperti ‘apakah saya berdosa dengan ikut menyapu halaman rumah ibadah orang lain?”. Kesadaran nilai-nilai toleransi dan bekerja sama untuk saling menjaga dna melindungi rumah ibadah ditanamkan dari proses ini yang kemudian menjadi titik balik kesadaran religius anak-anak muda ini dalam membangun hubungan dengan keompok agama berbeda.
“Saya sangat tertarik mendengar ajakan kawan saya untuk acara kunjungan ke Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Pay Lien San. Tapi saya deg-deg-an dan takut karena belum pernah sebelumnya. Di saat kunjungan, saya merasakan keakraban dan kehangatan dan (saya) sulit melupakannya”, Muna, seorang Muslimah dari Jember
Inisasi lainnya, GA4P dan PL memfasilitasi Girl’s Camp sebagai ruang ideologisasi 60 perempuan muda anggota baru GA4P dari 15 provinsi yang memiliki kapasitas sebagai duta perdamaian di sekolah.
Peer learning yang ketiga adalah PeaceBroadcast melalui Siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Jember. Program siaran ini bernama Numpang Nampang Bareng Peace Leader yang hadir setiap Sabtu, jam 4-5 sore, dengan narasumber dari anak-anak muda jaringan Peace Leader. Tema-tema yang diangkat dalam siaran cukup variatif seperti sekolah toleran, kreativitas muda, kekerasan dan bulliying di sekolah, pahlawan perempuan. Peace Leader juga dipercaya menjadi narasumber pertemuan jaringan/pelatihan di lokal dan nasional (IPBF, Fahmina, RTIK, Girls Camp, BEM Halaqah Pesantren, kongres Anak dalam Festival HAM di Jember 2019) dan juga terhubung dengan aliansi dan jaringan seperti 16 HKTP di Jember, Forum ANAK Jember, RTIK dan Garwita.
Kedua, membuka dan memperkuat ruang-ruang perjumpaan antar anak muda melalui program Peace Goes to School/Campus (PGS). Ketika Peace Leader dan GA4P telah dilatih untuk menjadi peacebuilders, maka (PGS) memberi ruang bagi mereka untuk menularkan virus perdamaian kepada siswa dan mahasiswa. Meski tidak seramai 2018, di tahun 2019 ini PGS masih mampu menjangkau 12 sekolah dan kampus di Yogyakarta dan Jawa Timur dengan melibatkan 1380 peserta.
Ketiga, menanamkan nilai Pancasila dalam Pendidikan Merdeka melalui program Pendidikan Berparadigma Pancasila (PBP). Program ini adalah piloting di dua sekolah di Yogyakarta atas inisasi kerjasama AMAN Indonesia dengan Setara Institute, Papirus untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dan juga para tokoh pendidikan seperti ki Hajar Dewantara. Pokok-pokok Pendidikan Berparadigma Pancasila dituangkan dalam sebuah modul sebagai panduan penerapan bagi siswa. Kami dan pihak sekolah meyakini, dengan penguatan pendidikan berbasis nilai ini, anak dan sekolah akan lebih berdaya terhad pengaruh radikalisme. Ke depannya, piloting ini diharapkan bisa menjadi referensi bagaimana sekolah mampu menjawab ancaman ideology terhadap negara Pancasila di sekolah-sekolah.