Jakarta – AMAN Indonesia bersama dengan Libu Perempuan dan Larimpu menggelar kick-off meeting untuk program UN Women pada Jumat (21 Juni 2024). Agenda kick-off ini, dihadiri oleh staf AMAN Indonesia, perwakilan Libu Perempuan, dan Larimpu, menjadi komitmen dan upaya kolaborasi masyarakat sipil dalam pencegahan ekstremisme di Indonesia agar dapat dilakukan secara lebih terpadu, efektif, dan berkelanjutan. Komitmen dan upaya tersebut dikemas dalam dalam program ”Advancing Gender Responsive Policy Design and Implementation for Social Creation Indonesia” dengan menyasar tiga provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga jam tersebut, berbagai acuan dibahas untuk mengukur kemajuan dan keberhasilan program pencegahan ekstremisme serta mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. Selain itu, beberapa aspek akan digunakan untuk melaporkan kemajuan program kepada UN Women, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya, serta sebagai dasar untuk merancang program-program selanjutnya yang lebih efektif dan berdampak.
Manager IDE AMAN Indonesia, Ghufron, menekankan bahwa dengan adanya rapat koordinasi ini, diharapkan upaya pencegahan ekstremisme di Indonesia dapat dilakukan secara lebih terpadu, efektif, dan berkelanjutan. Penguatan kapasitas, partisipasi publik, dan kolaborasi yang lebih erat antara berbagai pihak diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perdamaian dan keamanan di Indonesia.
“Pada momen ini, penting untuk memperkuat aspek terkait dengan isu Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam konteks pencegahan ekstremisme kekerasan. Selain itu, advokasi kebijakan dan penguatan tim terkait dengan implementasi Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme (RAD PE) atau yang biasa disebut dengan Kelompok Kerja untuk Menanggulangi Ekstremisme Kekerasan juga menjadi fokus,” terangnya.
Hadir pula Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, yang menyampaikan bahwa model gerakan Working Group on Women and P/CVE (WGWC) sangat berkontribusi dalam mengawal peran masyarakat sipil terhadap kebijakan pemerintah. Gerakan WGWC menunjukkan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil sejak awal dalam proses pembuatan kebijakan dan menciptakan ruang-ruang baru selain yang disediakan pemerintah.
”Meski seringkali tidak dilibatkan secara penuh dan harus membiayai sendiri partisipasi mereka, WGWC berhasil menciptakan jaringan yang didukung oleh alat-alat seperti analisis gender, gender audit, leadership, dan mentorship. Infrastruktur yang solid dengan steering committee dari lima lembaga, serta partisipasi sukarela, memfasilitasi transfer pengetahuan dan pengawalan kebijakan secara kolektif,” jelasnya.
Ruby juga menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan memainkan peran penting dalam konteks Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE), baik di tingkat nasional maupun daerah. Mereka tidak hanya melihat perempuan sebagai korban, tetapi juga sebagai penggerak dalam berbagai peran. Kepemimpinan perempuan ini membantu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi lebih fleksibel dan terbuka terhadap gagasan bersama, serta memastikan pelaksanaan kebijakan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Kekuatan kolektif masyarakat sipil, terutama dalam pengorganisasian korban dan pemberdayaan perempuan di lingkar pelaku, menjadi kunci sukses dalam implementasi RAD PE. Pengalaman dari daerah menunjukkan bahwa kolaborasi dan pengorganisasian yang dilakukan dengan perspektif gender menghasilkan perubahan yang signifikan dan transformatif.