”Ketika di Bandung, apakah saya mampu mempraktikan tools RSD?”
Kalimat itu yang terucap saat Yohannes Irmawandi selesai mengikuti Training Reflective Structured Dialogue (RSD) di Jakarta selama 3 hari (19-21 Desember 2022). Pria yang akrab disapa Anes ini bergabung dalam Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Nawangwulan dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) untuk melakukan kerja-kerja perdamaian di Jawa Barat.
Rasanya, cara berdialog sudah sering dilakukan di Kota Bandung bersama dengan Jakatarub untuk membuka ruang perbedaan dengan cara berdialog lintas iman. Paska mengikuti training RSD yang diadakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, dirinya merasa jika RSD menjadi level yang tinggi dalam melakukan dialog. Karena terdapat aturan dan membahas topik yang sensitif.
Setahun berlalu, sejak pelatihan berlangsung. Saat ini Anes telah dinobatkan sebagai fasilitator RSD. Di Bandung, ada delapan orang yang telah menjadi fasilitator RSD. Di saat bersamaan, Anes telah mengasah keterampilan RSD dengan memfasilitasi tiga RSD di Bandung. Pertama, bersama dengan anak muda dengan tema kebebasan beragama dan berkeyakinan pada Maret 2023. Dua praktik RSD lainnya dilakukan pada Desember 2023 dalam rangka advokasi Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuh Kolot yang mandeg sejak 2006.
Anes masih mengingat debut pertamanya saat menjadi fasilitator, 18 Maret 2023, lalu. Ada 12 orang anak muda yang mengikuti RSD, saat itu. Ada banyak kabar baik dari debut pertamanya menjadi fasilitator RSD. Kabar yang berkesan adalah para peserta alumni RSD tertarik untuk lebih terlibat dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan diselenggarakan oleh Jakatarub. Mulai dari agenda Jurnalisme Damai, Café Religi hingga BALAD 2023.
Paska dialog, para peserta lebih berani bersuara dengan isu kekerasan beragama dengan menjadi konten kreator, penulis hingga riset. Bahkan, lima puluh persen peserta RSD menjadi panitia agenda Bandung Lautan Damai (BALAD) 2023. Melalui BALAD 2023, para peserta berkampanye tolenrasi dan perdamaian. BALAD menjadi agenda tahunan yang digagas oleh Jakatarub untuk memperingati hari perdamaian di bulan November hingga Desember. Tahun ini, ada sekitar 20 organisasi yang terlibat dalam BALAD 2023.
Diakui olehnya, pelaksaan RSD menjadi jalan pembuka peluang kolaborasi antara Jakartarub dan para peserta dialog. Bahkan, rasa syukurnya semakin tidak terhingga ketika ada beberapa peserta yang tertarik untuk mendalami isu kebebasan beragama berkeyakinan. RSD menjadi langkah penting untuk memperkuat toleransi dan kebebasan beragama di kota kembang. Keberhasilan RSD menggali berbagai perspektif tentang kebebasan beragama berkeyakinan menjadi pertanda ada harapan untuk mewujudkan Jawa Barat yang lebih inklusif bersama anak muda.
Dialog RSD ini tidak hanya menjadi ruang perjumpaan lintas iman, tetapi juga menjadi wadah untuk saling belajar dan bekerja sama. Anes menekankan, hal ini merupakan langkah penting untuk memperkuat toleransi dan kebebasan beragama di Bandung Raya. Pada pelaksaan RSD, tim fasilitator berhasil menggali berbagai perspektif tentang kebebasan beragama berkeyakinan di Bandung Raya. Dari pelaksaan RSD, ada banyak perspektif yang digali dan muncul di permukaan.
Banyaknya perspektif yang muncul, menunjukan jika RSD ini berhasil menstimulasi peserta untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perspektif yang berbeda. Agenda RSD anak muda berlangsung selama dua hari, dan dibagi menjadi beberapa sesi. Pada sesi pertama, peserta dialog diajak untuk memperkenalkan diri dan berbagi pengalaman mereka tentang kebebasan beragama berkeyakinan.
Pada sesi kedua, peserta dialog berdiskusi tentang berbagai tantangan dan peluang dalam mewujudkan kebebasan beragama berkeyakinan di Bandung Raya. Pada sesi ketiga, peserta dialog menyusun rekomendasi untuk memperkuat kebebasan beragama berkeyakinan di Bandung Raya.
Pelaksaan RSD anak muda, menurutnya, berjalan lancar dan disiplin. Peserta dialog juga merasa bahwa dialog ini sangat reflektif dan efesien. Peserta merasa diajarkan untuk berpikir, menulis, dan berbicara dalam waktu yang terbatas. Hal ini membantu para peserta untuk saling mendengarkan dan memahami perspektif masing-masing peserta.
Anes juga mengungkapkan bahwa dialog RSD ini menjadi sebuah pelajaran bagi tim fasilitator. Mereka menyadari bahwa perencanaan penyelenggaraan RSD harus lebih matang, dengan tujuan dan sasaran yang jelas. Hal ini agar dialog RSD dapat memberikan dampak yang lebih luas dan bermanfaat bagi masyarakat.
”Sebagai fasilitator saya harus menempatkan diri di posisi yang netral dan tidak memihak,” ungkapnya.
Saat ini, RSD menjadi alat untuk melakukan advokasi Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot. Hingga kini, Gereja tersebut belum mendapatkan izin pembangunan sejak 2006. Situasi saat ini di GKP Dayeuhkolot Bandung, gedung gereja tidak dapat digunakan ibadah minggu oleh jemaat dengan jumlah yang banyak. GKP Dayeuhkolot membatasi peserta ibadah. Melalui pelaksaan RSD yang sudah dilakukan sebanyak dua kali menjadi upaya agar gereja bisa beraktifitas melayani umat yang lebih luas.
Dari tiga kali rangkaian RSD yang saya fasilitasi, RSD merupakan menjadi jenis dialog dengan level paling tinggi. Di mana memiliki aturan dan dapat menyasar isu-isu sensitif yang sensitif. Menjadi fasilitator RSD menjadi pengalaman berharga baginya, hal tersebut bisa menunjang kerja-kerja perdamaian di Jawa Barat bersama Jakatarub dan Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Nawangwulan.
”RSD menjadi harapan untuk advokasi gereja. Dengan menggunakan tools RSD, akhirnya saya menemukan gap yang kosong dalam pendirian GKP Dayeuh Kolot, yaitu ruang perjumpaan,” pungkasnya.