Jakarta – Dekatnya hari pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, yang dijadwalkan pada tanggal 14 Februari, telah mengundang perhatian semua lapisan masyarakat Indonesia. Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 12 Tahun 2022 tentang jadwal pemungutan suara ini menjadi momentum penting bagi negara untuk memperbaiki catatan pemilihan sebelumnya, serta memastikan kelancaran proses demokrasi yang inklusif, damai, dan mendukung hak perempuan.
Namun, dalam perjalanan menuju Pemilu 2024, tantangan serius masih menghadang, demikian yang diungkapkan oleh Ketua Kalyanamitra, Listyowati. Masih ada banyak hal yang belum tercapai, khususnya terkait hak dan kepentingan perempuan di Indonesia. Salah satu contoh adalah RUU PRT yang belum disahkan selama dua dekade, menunjukkan masih terbatasnya perhatian terhadap isu-isu penting ini. ”
Serta perlu ada partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan juga perlu ditingkatkan, termasuk penerapan kebijakan afirmasi kuota perempuan sebanyak 30 persen,” ungkapnya dalam pembukaan ‘Open Mic: Suara Perempuan Untuk Pemilu 2024 Mempertegas Komitmen Negara Untuk Pemilu yang Setara, Berkeadilan dan Inklusif’yang digelar melalui zoom, Senin (28 Agustus 2023).
Bersama dengan ini, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia dan Kalyanamitra mengajak semua pihak untuk bersatu demi program dan anggaran yang memenuhi kebutuhan Perempuan. Dirinya menegaskan Masyarakat sipil perlu terus mendorong pemerintah agar berkomitmen menjalankan mandat undang-undang.
”Di tengah perjalanan menuju Pemilu 2024, diperlukan ruang konsolidasi yang mampu menciptakan demokrasi yang setara, inklusif, dan damai. Suara perempuan harus diperhitungkan, karena itu adalah substansi dari perayaan demokrasi yang sebenarnya,” ungkapnya.
Di tempat yang sana, Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah menyampaikan sebuah cerita menyayat hati tentang 14 siswi di Lamongan yang dibotaki oleh gurunya karena tidak menggunakan ciput. Kejadian ini menunjukkan bahwa masih ada kendala dalam menciptakan ruang demokratis di lingkungan pendidikan yang menghargai kebebasan berpendapat dan berpakaian sesuai norma kelayakan.
”Entitas sekolah negeri, harusnya menjadi ruang demokratis untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk memakai pakaian kelayakan dan kesopanan serta sesuai pilihan dari Kementerian Pendidikan,” terangnya.
Secara tajam, dirinya mengidentifikasi tiga faktor penyebab masalah ini. Pertama, tafsir tunggal agama yang diterapkan secara paksa. Kedua, pengaruh politik identitas yang menyulitkan tokoh agama untuk berpihak. Ketiga, penyimpangan regulasi yang muncul karena wakil rakyat tidak memiliki pandangan yang terbuka dan lebih memprioritaskan popularitas daripada substansi. ”Semua ini mengingatkan kita akan pentingnya pemilu sebagai panggung perubahan dan pemilihan pemimpin yang berkualitas,” tegasnya.
Terkhir, Sekjen KPI, Mike Verawati Tangga, menyoroti kemunduran dalam afirmasi kouta 30 persen bagi perempuan dalam Pemilu. Keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu perlu lebih diperhatikan dan afirmatif action harus ditingkatkan. Aturan yang mempersulit pemenuhan kuota perempuan juga perlu direvisi demi tercapainya pemilu yang setara dan inklusif.
”Dengan kurang dari 200 hari menuju Pemilu 2024, perjalanan menuju pemilihan yang lebih inklusif, damai, dan adil adalah sebuah tugas yang tak bisa diabaikan,” ucapanya.
Menjelang Pemilu 2024, dirinya harapkan melihat perubahan nyata dalam partisipasi dan perlakuan terhadap perempuan di dalam dan di luar proses pemilu harus menjadi perhatian utama. ”Suara perempuan adalah bagian integral dari demokrasi, dan pemilu mendatang adalah momentum untuk menjadikan aspirasi perempuan sebagai bagian dari perubahan positif untuk Indonesia,” pungkasnya.