Jakarta – AMAN Indonesia dan Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku, bekerjasama dengan Kesbangpol provinsi Maluku dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)menggelar Sosialisasi Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024, di hotel Kamari Ambon, Rabu (7 September 2022).
Agenda ini dilakukan secara secara daring. Menurut Baihajar Tualeka, direktur LAPPAN, provinsi Maluku memiliki sejarah pahit di masa lalu, terkait konflik komunal kelompok beragama. Berkaca pada sejarah tersebut, lahirnya RAN PE ini dapat menjadi harapan besar bagi masyarakat agar peristiwa kelam tidak terjadi lagi di Maluku, maupun bagian wilayah Indonesia lainnya.
”Hadirnya RAN PE ini sebagai pijakan dan acuan kita bersama untuk sama-sama mendorong komitmen yang menghasilkan kebijakan daerah terkait pencegahan ekstremisme, dengan pelibatan aktif perempuan,” terangnya dalam sambutan.
Dirinya teringat ketika Bom Surabaya meledak tahun 2018, mama-mama di Maluku merespon dengan menggaungkan pentingnya menjaga kerukunan dan perdamaian di Maluku. Hal ini penting untuk terus bersama mencegah ekstremisme kekerasan, sekaligus menjaga kekerabatan yang selama ini sudah terbangun kuat di Maluku. Dalam kesempatan tersebut, dirinya berharap jika forum sosialisasi ini menjadi ruang konsolidasi antar pemangku kepentingan, baik pemerintah dan masyarakat sipil. Forum ini juga mendorongkan lahirnya regulasi Rencana Aksi Daerah (RAD PE) sebagai salah satu upaya menjalankan RAN PE di tingkat daerah.
Di saat yang bersamaan, Program Manager AMAN Indonesia, Siti Hanifah dalam presentasinya menggaris bawahi bahwa dalam RAN PE terdapat prinsip pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak, disamping prinsip lainnya seperti Hak Asasi Manusia. “Dalam prinsip RAN PE, mencakup prinsip hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan, pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk. Terakhir, prinsip kebhinekaan dan kearifan lokal,” ungkapnya.
Maka, sangat penting menurutnya, prinsip tersebut diintegrasikan dalam penyusunan RAD PE baik dalam regulasi maupun program dan indikator. Hal ini dilandasi terkait kebutuhan akan rasa aman bagi masyarakat, terutama perempuan dan anak yang sangat rentan. Hanifah menambahkan bahwa penting sekali RAD PE memberikan ruang pada peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme kekerasan. Alasannya, melibatkan perempuan itu sangat strategis, karena mereka sangat dekat keluarga dan masyarakat. Perempuan mampu atau lebih sensitif dengan melihat hal-hal detail yang terjadi di masyarakat, misalnya terkait dengan perubahan sikap anak-anak.
Selain itu, dengan perspektif gender, bisa membongkar konstruksi relasikuasa gender dengan faktor-faktor struktural gender mendorong kondusivitas pada radikalisme. Selama ini, banyak kasus terorisme yang melibatkan perempuan dan anak seringkali dilihat dengan lensa netral gender. Penggunaan perspektif gender akan membantu memahami dampak berlapis perempuan dan anak, sehingga program pencegahan dan penanganan akan lebih jauh sensitif dan sesuai kebutuhan.
”Posisi perempuan dalam aksi ekstremisme, tidak hanya menjadi korban tapi juga menjadi pelaku. Sehingga, mereka bisa dilakukan intervensi yang berbeda, serta tidak dipukul rata dalam melakukan penanganan dan pencegahan ekstremisme,” tegasnya.
Terakhir, Analis Kebijakan Ahli Muda BNPT, Alfrida Heanita Panjaitan yang juga menjadi narasumber menjelaskan pada 2021 telah tercapai 70 aksi yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga dengan jumlah kegiatan mencapai 249 kegiatan. Aksi paling banyak dilakukan oleh pilar pencegahan yang mencapai 165 kegiatan. Disusul kemudian aksi pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban yang mencapai hingga 54 kegiatan. terakhir, pilar kemitraan dan kerjasama internasional yang mencapai 30 kegiatan.
”Dalam strategi RAN PE 2020-2024, perlu melakukan 130 aksi, di mana untuk aksi pilar pencegahan ada sebanyak 82 aksi, pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban perlu ada sebanyak 33 aksi dan 15 aksi untuk pilar kemitraan dan kerjasama internasional,” ungkapnya.
Di dalam RAN PE ini, terdapat amanat jika dukungan pelaksanaan RAN PE tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi melibatkan pemerintah daerah, masyarakat sipil dan lainnya dalam pelaksanaan RAN PE di daerah. Sebelumnya, terdapat 7 daerah yang sudah melakukan tindaklanjut RAN PE di tingkat daerah, yaitu Sulawesi Tengah, Aceh, Surakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB.
”Diharapkan daerah lainnya melakukan kegiatan yang sama seperti daerah-daerah tersebut,” pungkasnya.
Dalam sosialisasi juga dihadirkan pembicara dari Kesbangpol Provinsi Maluku, Firda Bin Yusuf, S.STP, M.Si., yang memaparkan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam upaya implementasi kebijakan daerah terkait Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme. Selain itu, DR. Reny H. Nendissa, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum UNPATTI yang hadir secara langsung memaparkan kajian dan riset tentang Pencegahan dan Penanggulangan EKstrimisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme di Maluku.
Hadir pula dalam kesempatan tersebut Zahrudin Latukonsina, PLT kesbangpol Provinsi Maluku, Benediktus Sarkol, S.Pd, Kepala Kantor Perwakilan Provinsi Maluku da nperwakilan Sekber RAN PE. Sosialisasi RAN PE di Maluku menjadi sosialisasi ke-8 yang dilakukan pemerintah daerah bersama dengan AMAN Indonesia dan WGWC, dengan bekerjasama dengan BNPT, khususnya Deputi Kerjasama Internasional dan Direktorat Kerjasama Regional dan Multilateral.