Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan salam kebajikan
Yang saya hormati
Prof. Azyumardi Azra, CBE, Presiden AMAN internasional
Ibu Yuni Chuzaifah, PhD, Executive Board AMAN Indonesia
Nyai Dr. Nur Rofiah, Majelis Musyawarah KUPI
Ibu Valentina Ginting, Msi, Asisten Deputi Perlindungan Hak perempuan dalam Ruan tangga dan Rentan , KPPPA
Lima belas tahun sudah, AMAN Indonesia telah menyemai bibit-bibit toleransi, kesetaraan gender dan perdamaian di Indonesia. Kami sangat sadar bahwa tanpa keterlibatan banyak mitra yang tersebar di 19 propinsi, tentu kerja-kerja mengakarkan perdamaian di masyarakat bak menegakkan benang basah.
Tahun lalu ketika saya memulai mendokumentasikan cerita perubahan para pemimpin perempuan akar rumput. Saya terkejut melihat dampak program Sekolah Perempuan Perdamaian pada pembentukan karakter kepemimpinan perempuan. Program yang digagas bulan Agustus 2007, bermodal nekat. Tidak ada modul khusus. Bahkan tidak ada projek khusus yang mendukung saat itu. Telah diprediksikan sejak awal akan menjadi mesin kader paling efektif untuk mendorong transformasi kepemimpinan di akar rumput.
Lima belas tahun bertumbuh bersama dengan para perempuan lintas iman, mengajarkan betapa unit terkecil keluarga sangat vital dalam membentuk karakter, prilaku dan budaya damai di dalam keluarga dan menabur ke komunitas. Kunci keluarga yang tangguh adalah kepemimpinan perempuan. Cerita Bu Rohimah Jakarta dan Bu Odax Sampang sangat mewakili imajinasi tentang sebuah transformasi relasi di dalam keluarga, yang mengaur di masyarakat.
Saya semakin diyakinkan tentang makna perdamaian dan alam, ketika Bu Wuri dan para ibu di kampungnya, berhasil menyulap lahan-lahan tidur menjadi lahan produktif menghasilkan sayuran organik. Tidak saja merasa bangga karena bangunan ketahanan pangan yang dijalankan oleh Bu Wuri. Tetapi membuka mata saya bahwa medium perkebunan organik, secara organik pula telah menyemaikan kembali kerukunan antar warga berbeda agama.
Pendekatan perdamaian sering diperhadapkan dengan pendekatan HAM. Dan kadang kami dipaksa untuk memilih salah satunya. Kegigihan Bu Erni memimpin perlawanan non kekerasan atas hilangnya tanah-tanah adat karena pencaplokan lahan oleh perusahaan PLTA, dan kuatnya Rezky Sampang mengedukasi para penerima bantuan Program Keluarga Harapan agar ATM tidak boleh pindah tangan, atau Mbak Wiek Yogya yang berhasil meredam fitnah dengan cara-cara perdamaian, Kak Neta dan Mbak Isti yang bersemangat melakukan advokasi anggaran desa untuk pemberdayan perempuan, memberikan keyakinan bahwa melawan atas ketidakadilan HARUS. Mereka mengajarkan kepada saya melawan tanpa kekerasan ala perempuan.
Ketika jalan buntu penanganan Syiah Sampang, sekali lagi AMAN berhasil menyakinkan Kontras Surabaya untuk mengkombinasikan pendekatan HAM dengan Peacebuilding, terbukti efektif memenangkan hati dan pikiran Pemda Jawa TImur untuk tetap memberikan jatah hidup korban dan membantu penyelesaian dokumen kependudukan para pengikut syiah yang dipindahkan ke Rusunawa Jemundo Sidoarjo, meskipun ada pertentangan keyakinan di dalam benak para birokrasi saat itu.
Pendekatan peacebuilding, dengan nilai-nilai welas asih, juga sangat cocok dipakai mendekati kelompok-kelompok berisiko tinggi seperti mantan narapidana terorisme dan keluarganya. Keyakinan bahwa setiap manusia bisa salah. Setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua, telah mendorong Bu Novi untuk terlibat dalam membuka ruang-ruang pembauran para istri dan anak-anak mantan napiter di Poso. Mereka yang terkunci hatinya oleh doktrin agama “sami’na wa’athokna” dan gampang mengkafirkan orang lain, akhirnya luluh dan berbaur dengan komunitas setelah program “mendekatkan pasar ke dapur Umi” terlihat manfaatnya. Kini, kamipun mulai mengintegrasikan dialog dalam kerja besar reintegrasi sosial bagi para mantan pendukung ISIS, dengan dukunga mitra kami seperti Empatiku.
Gerakan perdamaian harus berkreasi dan berinovasi
Gerakan perdamaian harus beregenerasi,
Lahirnya Peace Leader sebagai gerakan anak muda lintas iman di 7 kota, tidak saja sebagai inkubator pemuda penggerak, tetapi mengkonkritkan pendekatan intersectionalitas, dimana nilai-nilai welas asih, kesetaraan gender dan kemanusiaan dihadirkan dalam layanan kemanusiaan pada kelompok yang mengalami diskriminasi berlapis. Redy Saputra adalah fenomenal. Bukan karena sejumlah penghargaan yang diterimanya. Tetapi double identitas minoritasnya sebagai etnis cina, madura, dan beragama kristen, Dia bersama gerakan Peace Leader, melakukan gebrakannya meruntuhkan tabu “berkunjung ke rumah ibadah agama-agama”, berhasil menawarkan tantangan bagi anak muda untuk interaksi dengan yang berbeda, tetapi juga membuka mata para orang tua betapa pendidikan keluarga minim membincang yang berbeda, padahal kita Indonesia.
Ketika pemberitaan tentang kekerasan seksual memenuhi media kita. Girls Ambasador for Peace , wadah para gadis usia SMA dan kuliah, breaking the silent. Buku berjudul Girls Support Girls, berisi tentang pengalaman penyintas kekerasan berbasis gender dan seksual, adalah jeritan perlawanan girls, juga wujud nyata resiliensi mereka, bangkit dari reruntuk harga diri yang hancur, karena pelecehan, perkosaan, dan inses. Kehadiran Girls Talk memberikan ruang aman untuk bercerita, tidak sekedar healing organik para penyintas, tetapi edukasi “JANGAN DIAM” bagi para girls . Hadirnya Puan menulis, dengan 70 penulis perempuan muda, ikut membanjiri perspektif korban pada media online kita, sekaligus meramaikan narasi harapan, agar para netizen memiliki harapan baru pada Indonesia yang lebih baik.
Lima belas tahun, terasa begitu singkat bagi sebuah perjuangan untuk membumikan Islam rahmatan Lila’alamin. Spirit kerjasama dan membangun sinergi dengan berbagai aktor di daerah, nasional dan international, mengajarkan sekali lagi kepada kami untuk “sadar posisi”. Sadar bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri untuk sebuah impact yang besar. Sadar bahwa daerah memiliki kekuatan besar. Sadar bahwa masyarakat sipil memiliki keterbatasan. Sadar bahwa sumber daya mulai menipis. Jalan satu satunya adalah kolaborasi, BUKAN kompetisi.
Working Group on Women and Preventing and Countering Violent Extremism, adalah wujud kolaborasi sadar posisi. lima tahun menjadi steering committee, saya menyadari bahwa kolektifitas tanpa visibilitas kurang menumbuhkan ownership bersama. Kolektifitas tanpa niat tulus saling membesarkan, akan hanya berhasil transaksional. Kolaborasi dan kemitraan formal tidak saja menjaga moralitas komitmen pada tujuan, tetapi juga secara nyata memobilisasi sumber daya baik material maupun non material.
Tahun 2017, keterlibatan dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), bukan pilihan. Tetapi sebuah keharusan untuk mewujudkan gerakan muslim progresif. Nilai keadilan hakiki (Dr. Nur Rofiah) dan mubadalah (Dr. Faqihudin) telah terbukti meningkatkan rasa percaya diri kami untuk membuka komunikasi dengan kelompok islam berbeda. KUPI menawarkan narasi mengayomi dan sejuk untuk meningkatkan keberterimaan di kelompok islam beragam. Tetapi juga mengajarkan kesabaran menemukan narasi-narasi baru untuk melawan secara kultural dan struktural ala Ulama Perempuan.
Memasuki usia ke lima belas, kami ingin mempopulerkan ketrampilan dialog kepada banyak anak-anak muda, tokoh-tokoh, perempuan perdamaian, ulama perempuan yang dibungkus dengan kerangka INDONESIA BERDIALOG. Tujuannya agar lebih banyak orang yang memiliki skill dialog, dan menyakini bahwa keragaman cara pandang harusnya bisa dikelolah dengan baik sebagai bagian menyuburkan pemikiran kritis. Kami ingin lebih banyak hadir ke wilayah Indonesia TImur untuk belajar kearifan lokal perempuan membangun perdamaian, tetapi juga sekaligus membangun jembatan dengan pulau-pulau lain, agar semangat keindonesiaan tetap kuat.
Terinspirasi oleh cerita Bu AnAn Yulianti dari Tasikmalaya, yang berhasil menggunakan teknis dialog terstruktur dan reflektif, dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Tidak saja dialog memberikan ruang aman untuk bicara bagi korban dan keluarganya, tetapi juga membantu rekonsiliasi para aktor di masyarakat, karena kejadian kekerasan seksual bisa menyulut konflik. Bima dan Lampung telah memakan banyak korban karena respon penanganan kekerasan seksual tidak memiliki perspektif mitigasi konflik.
Selain mengakar, gerakan AMAN Indonesia mulai mendapatkan tempat di regional, tidak saja sebagai tamu, tetapi menjadi bagian pembentukan jati diri masyarakat sipil dalam membuka ruang sipil. Meskipun masih tipis keterlibatan di negara-negara lain, kami merasa di masa mendatang peran-peran menemani, membagi pengalaman baik Indonesia, memberikan trobosan keterlibatan CSO dalam perumusan kebijakan. Tidak ada yang sebaik kemitraan antara pemeirntah dan masyarakat sipil untuk hasil yang lebih memuaskan.
Akhirnya, saya ingin menutup dengan mengatakan bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan perempuan butuh jalan panjang. Mbak Nur dari Puger, mengajarkan konsistensi, keulet, dan tidak gampang menyerah untuk meraih pengakuan Desanya. Kadang harus meminjam tangan-tangan dari luar untuk menyadarkan eksistensi kita.
Akhirnya….semua capaian ini tidak akan hadir ditengah kita, tanpa tim yang loyal, ulet, dan tidak takut tantangan baru. Mereka orang-orang hebat penuh dedikasi Hanifah Haris, Gufron, Mbak Ani, Maskur, Yeni Luftiana, Neny Agustina Adamuka, Nita Nurdiani, Tia Istiaan, Fina Nihayatul Mazziyah, Mawardi, Riskiansyah, Yulita Nugraheni, dan Mbak Jinem adalah tim istimewa dan memiliki resiliensi tinggi saat kepepet. Boleh kasih apresiasi kepada mereka.
Terima kasih semua pihak yang selama ini bersama dengan AMAN Idonesia dan menjadi bagian dari gerakan muslim progresif. Dengan rasa syukur mendalam, saya ingin menutup sambutan saya dengan sebuah pantun.
Fajar Subuh semburatnya merah,
Lautnya tenang bersanding dengan pasir putih kesepian,
Kami persembahkan buku kecil pembelajaran AMAN Indonesia,
Semoga cerita sunyinya, menggerakkan perempuan perdamaian
Selamat ulang tahun AMAN Indonesia
Wasalamu’alaikum wr wb
Shalom, Om Santi santi santi Om,