Demokrasi dan Keamanan di Asia: Saatnya Melihat dari Lensa Women, Peace, and Security

Asia Democracy Assembly (ADA) 2025 menutup forum tahunan dengan pesan kuat, demokrasi di Asia sedang berada di persimpangan antara performa dan perlawanan. Di tengah penyempitan ruang sipil dan menguatnya praktik securitization, masyarakat sipil terutama perempuan dan generasi muda terus menjadi penopang utama gerakan demokrasi di kawasan.

Diselenggarakan pada 1–3 November 2025 di Bangkok, Thailand, Asia Democracy Assembly 2025 menjadi ruang pertemuan strategis bagi jaringan masyarakat sipil Asia untuk merefleksikan arah demokrasi dan keamanan kawasan.

Forum ini dihadiri oleh ratusan perwakilan masyarakat sipil dari 20 negara Asia, termasuk Ichal Supriyadi (Sekjen Asia Democracy Network), Gina Romero (Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi), Parit Wacharaindhu (Anggota Parlemen Thailand), serta tokoh-tokoh dari komunitas Rohingya, Tibet, Palestina, dan Hong Kong. Dari Indonesia, Ruby Kholifah (Country Representative AMAN Indonesia sekaligus Chairperson Asia Democracy Network) tampil sebagai pembicara yang menekankan peran organisasi perempuan dalam membangun perdamaian berbasis komunitas.

Forum dua hari yang berlangsung di Bangkok ini mengangkat tema “Defending Democracy, Mobilizing Movements, and New Frontiers for Citizen Action.” Para peserta membedah bagaimana otoritarianisme, disinformasi, dan politik keamanan mengancam kebebasan warga, serta menegaskan pentingnya solidaritas lintas sektor untuk mempertahankan nilai kemanusiaan.

Dalam sesi khusus bertajuk “Security for Whom? Rethinking Securitization and Militarism through the WPS Lens in Indonesia,” Ruby Kholifah, menyoroti wajah militerisme dan sekuritisasi di Indonesia melalui perspektif Women, Peace, and Security (WPS). Ia menegaskan, negara kerap menempatkan protes rakyat dan aktivisme perempuan sebagai ancaman keamanan bukan sebagai ekspresi demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, Ruby memaparkan bagaimana proyek-proyek strategis nasional seperti food estate di framing sebagai isu keamanan negara, bukan ketahanan pangan rakyat. Pendekatan ini, menurutnya, mencerminkan cara berpikir militeristik yang menggeser peran warga dan komunitas lokal dalam menentukan masa depan mereka. “WPS menantang pendekatan keamanan yang maskulin dan eksklusif. Perempuan dan kelompok rentan adalah penjaga pertama kemanusiaan di tengah krisis. Mereka harus dilibatkan bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai pengambil keputusan,” tegas Ruby.

Strategi AMAN Indonesia bersama mitranya, LIBU Perempuan, menggunakan metode Reflective Structured Dialogue (RSD) membuktikan bahwa ruang demokrasi dapat dipulihkan melalui dialog yang aman dan setara. Pendekatan ini diterapkan pasca-tragedi teror di Lembantongoa, Sigi, untuk merespons kebijakan keamanan yang tidak sensitif terhadap realitas sosial-ekonomi masyarakat. Melalui RSD, korban, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah lokal berhasil membangun kembali kepercayaan, memperkuat relasi sosial, serta mendorong pemenuhan hak dasar seperti akses listrik dan perbaikan jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *