14.000+ Kasus Kekerasan di 2025, Sudahkah Perempuan Indonesia Merdeka?

Perempuan Indonesia mungkin sudah cukup merdeka dengan berdaya. Hadir di ruang publik, menjadi pemimpin perusahaan, duduk di kursi parlemen, hingga menjadi pencetak sejarah di bidang-bidang yang dulunya didominasi laki-laki. Namun, di balik kemajuan itu, ketika perayaan hari kemerdekaan sudah di depan mata, satu pertanyaan menggantung di udara: sudahkah perempuan benar-benar merdeka dari kekerasan?

Jika kita menilik data terbaru yang tersaji real-time pada situs Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang diprakarsai oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), jawabannya belum. Hingga awal Agustus 2025, ketika artikel ini ditulis, tercatat 17.355 kasus kekerasan di Indonesia, dengan 14.919 (80.6%) korbannya adalah perempuan.

Lebih lanjut, data SIMFONI-PPA menunjukkan sebanyak 33.7%, mayoritas korban perempuan berusia 13-17 tahun, diikuti dengan 26.1% berusia 25-44 tahun. Ini berarti usia korban termasuk kategori usia produktif; remaja hingga dewasa muda. Sementara berdasarkan tempat kejadian kekerasan, “Rumah Tangga” menempati peringkat teratas sebanyak 60.1%. Data ini sejalan dengan temuan Komnas Perempuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2023, ranah personal/domestik mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 284.741(98.5%) dari 3.303 kasus.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan realitas yang masih mengungkung perempuan Indonesia, bahwa tubuh perempuan belum sepenuhnya aman, bahkan dalam lingkungan terdekat mereka sendiri.

 

Sejauh Mana Negara Memerdekakan Perempuan dari Kekerasan?

Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2020 telah disahkan, perempuan Indonesia masih terus dihantui penjajahan yang dinamakan kekerasan. Idealnya, UU TPKS menjamin 4 hak korban kekerasan seksual: hak atas perlindungan hukum, hak atas pendampingan psikologis dan hukum, hak atas pemulihan ekonomi, dan hak atas keadilan dalam proses hukum.

Sebagaimana diberitakan oleh Metro TV News dalam artikel berjudul “Masih Ada 3 Aturan Turunan UU TPKS Belum Rampung, Ini Penjelasan Pemerintah” yang terbit pada 14 April 2025, hingga kini, baru 4 dari 7 peraturan pelaksana UU TPKS yang sudah ditetapkan pemerintah. Masih tersisa 3 aturan yang belum disahkan, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dana Bantuan Korban TPKS; RPP Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4PTPKS); dan Rancangan Perpres (RPerpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

Namun, efektivitas hukum sejatinya tidak hanya diukur dari keberadaannya, melainkan dari implementasinya. Dari berbagai kemajuan yang bisa kita patut apresiasi dan upaya-upaya pemerintah yang masih terus berlanjut, perempuan korban kekerasan masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, utamanya datang dari Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri yang belum sensitif gender sehingga korban tidak jarang harus menghadapi pertanyaan menyudutkan bernada seksis dan misoginis. 

Siti Mazumah, koordinator Forum Pengada Layanan (FPL), dalam artikel berjudul “Mengapa proses hukum menjadi problematis bagi korban dugaan KS?” yang dimuat BBC mengatakan, “aparat hukum seringkali meminta korban membuktikan sendiri kejadian yang menimpanya, padahal seharusnya penyidikan bisa dilakukan dari temuan masyarakat tanpa membenahi korban.” 

Menghadapi hal ini, pada tahun 2023, Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menciptakan suatu inisiasi kolaboratif bernama Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) dengan target pelibatan tenaga layanan, pendamping korban, masyarakat umum, termasuk aparat penegak hukum. Hingga 2025, serangkaian kegiatan APKS telah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia, juga menghasilkan Modul Akademis APKS sebagai panduan penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual berperspektif HAM.

Negara bisa saja terus menggulirkan berbagai regulasi, tapi semua itu tidak akan berarti jika aparatur enggan belajar dan memahami akar persoalan kekerasan berbasis gender. Keberpihakan akan selalu diwarnai relasi kuasa ketika perspektif gender belum menjadi kesadaran dasar dalam penanganan kasus. 

 

Stigma Perempuan Korban Kekerasan: Penjajahan Oleh Bangsa Sendiri

Budaya patriarki membuat perempuan korban kekerasan tidak cukup mengalami trauma fisik dan emosional dari kekerasan yang mereka alami. Trauma berkelanjutan datang dari stigma sosial yang menganggap perempuan sebagai pihak yang pantas disalahkan. 

Dalam artikel Metro TV News berjudul “Komnas Perempuan: Stigma di Masyarakat Menyumbang Tingginya Kekerasan Seksual” pada 12 September 2024, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyatakan bahwa masyarakat masih menganggap kekerasan terhadap perempuan sebagai hal wajar. Perempuan kerap disalahkan atas busana dan perilaku, seperti keluar malam hari, yang memunculkan pandangan bahwa korban adalah individu yang ‘nakal’ sehingga pantas saja mengalami kekerasan seksual. 

Padahal, telah kita baca di atas pada data real-time SIMFONI-PPA 2025, juga temuan Komnas Perempuan 2023, lokasi kekerasan paling banyak terjadi di rumah; pada ranah personal. Ini artinya kekerasan kerap kali terjadi dalam lingkungan yang justru sangat dikenal korban, dengan pelakunya orang-orang terdekat korban.

Stigma sosial adalah bagian dari sistem patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan meredam keberanian mereka bersuara. Selama masyarakat menolak memahami konsep kekerasan terhadap perempuan dan masih percaya pada mitos-mitos yang mendiskriminasi ketubuhan perempuan, maka korban akan sulit mendapat keadilan.

 

***

Angka kekerasan terhadap perempuan yang ditampilkan SIMFONI-PPA sepanjang tahun 2025 bukan sekadar statistik tahunan. Ada tubuh-tubuh yang tidak aman, wajah-wajah yang terluka, dan suara-suara yang tercekat; dibungkam atau terpaksa membungkam kisahnya sendiri. 

Setiap tahun, perayaan kemerdekaan akan terus berlangsung, tapi data ini menggugat kita semua: bagaimana bisa kita merayakan kebebasan, sementara banyak perempuan masih terpenjara oleh ketakutan dan ketidakadilan? Merdeka semestinya dirasakan utuh bagi semua warga negara, tidak terkecuali perempuan korban kekerasan: bebas dari ancaman, stigma, dan sistem yang menormalisasi alih-alih melindungi.

Perjuangan belum selesai selama satu saja perempuan Indonesia belum merasa aman di negara yang sudah 80 tahun bebas dari penjajahan bangsa asing, tapi masih setia menjadi budak dari penjajahan bernama kekerasan.*

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *