Pentingnya Literasi Digital Orang Tua dalam Upaya Perlindungan Anak: Say No to Twibbon!

Jelang Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tanggal 14 Juli 2025, story Instagram dan status Whatsapp bertebaran wajah anak-anak dalam twibbon. Bingkai foto digital yang dirancang khusus untuk memberikan identitas visual terhadap suatu kegiatan atau kampanye. 

Dalam hal ini, karena yang dituju untuk keperluan MPLS diisi foto anak beserta sekolah, dan termasuk laman sosial media sekolah, serta ada yang mencantumkan nomor telepon guru yang mengampu program tersebut. Pada beberapa postingan, malah tercantum nama lengkap anak-anak tersebut.

Twibbon itu meresahkan saya. Untungnya sekolah anak saya tidak wajib memposting twibbon. Meski hal tersebut katanya untuk menyemarakkan dan mendokumentasikan momen MPLS, serta mendorong para siswa, guru, dan orang tua menunjukkan partisipasi dalam MPLS secara kreatif dan menyenangkan, di media sosial. Namun, tahukah pihak yang mengusulkan bahwa penggunaan twibbon berpotensi merugikan anak? 

Misal, yang pertama, apakah berbagi foto anak dalam twibbon sudah disetujui oleh anak? Mengingat bahwa salah satu tindakan preventif orang tua dari kemungkinan kekerasan dalam dunia digital, adalah dengan tidak memperlihatkan wajah anak di media sosial. 

Leah Plunkett, seorang pakar hukum Harvard membagikan hal-hal yang menjadi risiko dari mengunggah foto atau video anak di media sosial. Hal utama dan paling berbahaya adalah memicu tindakan kriminal termasuk pencurian identitas, penguntitan, dll, yang bisa kita pahami sebagai penyalahgunaan data anak baik saat sekarang, maupun di masa mendatang.

Yang kedua, apakah pihak sekolah termasuk panitia MPLS, selain mewajibkan atau bila tidak–hanya mendorong memposting twibbon–sudah mengirimkan formulir pemberian izin pemuatan foto anak untuk keperluan kampanye MPLS?

Pada fase digitalisasi dan keamanannya, kepedulian sekolah untuk mengirimkan form ini sesungguhnya sangat diharapkan. Saya memberi contoh tentang bagaimana sebuah penyelenggara workshop yang melibatkan anak-anak, meminta kami para orang tua peserta untuk mengisi consent form atau form persetujuan terlebih dahulu. 

Bunyinya bisa saya kutipkan seperti ini.  

Sebagai orang tua/wali yang menandatangani surat ini, kami mengijinkan foto-foto kegiatan ini untuk dipergunakan sebagai promosi untuk keperluan non komersil dan disebarluaskan di media sosial acara ABCDE (Instagram, Twitter, dan Facebook) 

Dengan kesepahaman apabila ada hal-hal yang tidak berkenan pada saya atau anak saya, maka saya berhak mengajukan permintaan spesifik agar foto tersebut dihapus dari media sosial acara ABCDE tersebut. 

Dengan adanya consent form itu, minimal orang tua sebagai wali anak tahu dan paham keperluan pemuatan foto untuk dipergunakan sesuai tujuan kegiatan, dan bisa sewaktu-waktu meminta untuk dihapus. 

 

Bahaya Penyalahgunaan Teknologi pada Foto Anak

Entah karena FOMO, atau sebaliknya karena kurang berpengetahuan literasi dan keamanan digital; orang tua umumnya tidak menyadari sejauh mana postingan foto dan video anak mereka, bisa bertendensi buruk, atau disalahgunakan oknum. 

Berikut, beberapa alasan yang perlu menjadi pertimbangan matang sebelum memposting foto anak apapun tujuannya. 

Setiap kali kita memposting gambar di platform sosial manapun, gambar itu bukan lagi milik kita secara eksklusif. Syarat dan ketentuan beberapa platform sering menyatakan bahwa saat gambar diunggah ke server mereka, maka foto bebas digunakan tanpa persetujuan, bahkan untuk tujuan apapun.

Berbagi informasi atau gambar anak secara online dapat mengakibatkan pencurian identitas. Bayangkan sebuah postingan menyertakan nama, kelas, sekolah dengan nomor telepon dan laman media sosial.

Hanya dengan beberapa klik saja, pelaku kejahatan digital dapat menemukan informasi pribadi orang tua. Apalagi, bila yang melakukan pencurian identitas bertendensi buruk, merekayasa dengan bantuan AI, dan berujung pada pemalsuan persona untuk dijual ke laman predator anak.

Kita juga perlu memahami bahwa platform media sosial apapun yang kita gunakan, tidak bertanggung jawab untuk semua data yang dengan sadar termuat dalam twibbon tersebut. Oleh karenanya, kita tak bisa membuat tuntutan apapun, kecuali hanya meminta postingan itu di-take down, yang sayangnya data itu tak bisa lenyap sepenuhnya.  

Selain itu, tanpa disadari kebiasaan orang dewasa untuk memposting anak, mengajarkan kepada mereka kebiasaan berbagi segala sesuatu secara online, yang disimpulkan hal itu tidak apa-apa dan tidak berbahaya. 

 

PP Tunas dan Kesadaran terhadap Hak Anak

Pemerintah melalui Menkomdigi memang telah mengupayakan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak yang dikenal sebagai PP TUNAS. PP ini diharapkan sebagai model regulasi yang menjadi acuan global dalam melindungi anak-anak di ruang digital. Adapun spesifik pembahasan dalam PP tersebut tertulis sebagai berikut:

“Platform digital wajib memastikan perlindungan anak lebih utama daripada kepentingan komersialisasi. Platform digital dilarang profiling data anak, ada batasan usia yang berlaku, dan pengawasan dari sistem platform digital terhadap pembuatan akun. Platform digital dilarang menjadikan anak-anak komoditas. Ada sanksi tegas bagi platform digital yang melanggar.”

Semua bicara tentang platform, tak spesifik twibbon. Meski ada yang menyinggung larangan profiling data anak, yang faktanya pada twibbon ada banyak data, yang sengaja dicantumkan. 

Bila bicara tentang twibbon dan perlindungan data anak, PP Tunas masih perlu disinkronisasi dengan UU No.39 tahun 1999, pasal 58 ayat 1 yang menyatakan setiap anak wajib memperoleh perlindungan hukum dari berbagai macam bentuk kekerasan, pelecehan seksual serta perbuatan yang tidak menyenangkan. Yang tentunya termasuk kekerasan di dunia maya. 

Mengakhiri tulisan ini, saya setuju dengan pendapat Mbak Mona Atalina, redaksi Rahma.id. 

Sebagai orang tua, kita perlu menjadi lebih bijaksana, bertanggung jawab, dan peka terhadap setiap tindakan kita di dunia digital. Mungkin, momen bersejarah seperti ini tidak selalu harus dirayakan di ruang digital dengan penuh hingar-bingar. 

Sebagai gantinya, biarkan momen ini berkembang alami, layaknya sebatang pohon kecil yang perlahan tumbuh, menghijau, dan mengakar dengan kokohnya, menjaga keunikan dan kedamaian. 

Bukankah dengan begitu, kita telah memastikan terpenuhinya hak perlindungan bagi anak, terutama menjaganya dari pelanggaran privasi dari hal-hal yang tak diinginkan? 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *