Suara Perempuan dalam Resolusi Konflik: Menjembatani Perdamaian Melalui Dialog

Saya masih ingat dengan jelas sosok Erna Rosalia saat pertama kali mengikuti pelatihan Reflective Structured Dialogue (RSD) yang diselenggarakan oleh AMAN Indonesia tahun lalu. Wajahnya terlihat sedikit bingung, namun tetap tenang dan fokus mengikuti rangkaian acara. Kulit wajahnya yang putih bersih dan senyum khasnya yang lembut mencerminkan keanggunan seorang perempuan Sunda. Tanpa riasan berlebihan, mungkin hanya sapuan bedak tipis, kecantikan naturalnya tetap terpancar.

Setelah pertemuan perdana itu, AMAN Indonesia beberapa kali kembali mengundang Teh Erna dalam berbagai kesempatan, termasuk untuk refleksi RSD. Pengalaman mengikuti serangkaian pelatihan dari AMAN Indonesia seolah menyalakan api optimisme dalam dirinya. Ia meyakini bahwa metode ini bisa menjadi solusi untuk permasalahan yang selama ini dihadapi komunitas Ahmadiyah, terutama terkait pembukaan segel masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya.

Teh, kumaha damang?” sapa saya hangat saat kami terhubung melalui Zoom pada awal Juli 2024.

Sebagai orang Bandung, saya merasa penting untuk berinteraksi dengan Teh Erna – sapaan akrabnya menggunakan bahasa Sunda, menciptakan kedekatan budaya di antara kami. Seperti biasa, wajahnya yang ramah dan bersahabat tetap terpancar meski hanya melalui layar. Kali ini, obrolan kami dimulai dengan kisah masa kecilnya yang penuh warna. Teh Erna mulai membuka lembaran-lembaran kehidupannya, mengisahkan berbagai proses dan pengalaman yang telah ia jalani sejak masih belia, membentuk pribadinya yang tangguh dan bijaksana seperti sekarang.

Kemandirian dan Kepemimpinan Dipupuk di Keluarga dan Modalitas Erna Membangun Perdamaian

Lahir di keluarga yang serba kecukupan dan kasih sayang yang melimpah, membuat Teh Erna menjadi anak yang manja. Bukan hanya itu, dia juga merupakan anak tunggal. Gelar sebagai anak tunggal dia dapatkan sampai di Kelas enam Sekolah Dasar (SD). Akhirnya, Teh Erna pun memiliki seorang adik perempuan, namun sangat kekurangan secara fisik. 

Orangtuanya tidak bicara namun dirinya memahami jika perhatian orangtua Teh Erna harus banyak kepada adiknya. Kondisi tersebutlah yang memupuk Teh Erna untuk bisa mandiri. Sejumlah inisiatif dia lakukan sewaktu kecil. Seperti mengasuh adiknya, mencuci dan lainnya. Di sisi lain, kedua orangtuanya pun tidak menuntut apapun untuk Erna melakukan sejumlah pekerjaan rumah. 

”Saya mau mengucapkan terimakasih kepada orangtua saya. Saya sangat menyayangi keduanya,” ucapnya sambil tersedu-sedu. 

Kisah masa kecilnya, nampak sangat berkecamuk dan emosional. Ada rasa haru, bangga, sedih dan emosi lainnya yang saling beradu. Dirinya paham, jika adik yang memiliki kekurangan fisik membutuhkan perhatian lebih. Ada hal lainnya, Teh Erna tidak ingin menyusahkan orangtuanya. Hal itu pula yang membuatnya semakin mandiri. Kepemimpinannya dia pupuk. Berkat kedua orangtuanya pun, dia menjadi pribadi seperti saat ini.

Tentang keberagaman, sejak kecil, tanpa disadari Teh Erna sudah dibesarkan dari keluarga yang beragama. Ada banyak sanak-saudaranya dengan Islam yang beragam. Termasuk, terdapat keluarganya yang berasal dari Ahmadiyah. Hal tersebut, membuat cara pandang ikut beragama. Saat berkumpul bersama dengan sanak-saudaranya, Erna atau keluarga lainnya seringkali bertanya satu sama lainnya. 

Dia merasa beruntung, tidak ada perdebatan saat kumpul keluarga besar. Bahkan, agenda Idul Fitri dan Idul Adha menjadi menguat satu sama lainnya di keluarganya. Dia berusaha mengingat kejadian saat kecil dulu, dia ingat betul momen tersebut dan sangat berbekas dengan dirinya. Di keluarga besar, tidak ada perbedaan sikap kepada keluarga yang berasal dari Ahmadiyah. Dari situ dirinya memandang, manusia tidak berhak melakukan diskriminatif atas agama yang dipegang. 

Cerita pun terus berlanjut, Teh Erna pun tumbuh dewasa. Dia pun memilih untuk masuk dalam kelompok Ahmadiyah, Lajnah Imaillah. Kedua orangtuanya tidak melarang. Hanya berpesan, pikirkan baik-baik. Hingga saat ini, orangtuanya tidak bersikap berbeda atas pilihan hidupnya. Kasih sayangnya tetap sama walaupun sudah beranjak dewasa dan hidup bersama suami. 

Penyegelan Masjid Hingga Trauma pada Perempuan Jemaat Ahmadiyah 

Teh Erna pun menikah dan memilih pindah Desa dari orangtuanya. Saat ini, Erna tinggal di Desa Kersamaju, terdapat anggota Ahmadiyah yang lainnya di desa tersebut. Bahkan, di desa tersebut terdapat masjid Ahmadiyah, Masjid Al-Furqon. Warga dan Ahmadiyah hidup rukun dan berdampingan satu dengan lainnya. Setiap pagi, saat Teh Erna pulang dari pasar, dirinya sering bertegur sapa dengan dengan warga. Sangat ramah dan jauh dari rasa ketidaksukaan dengan Ahmadiyah. 

Hingga akhirnya, dirinya merasakan jika persekusi hadir di luar dari Desa Kersamaju, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Tepat pada 2020, jamaah Ahmadiyah tidak boleh menggunakan masjid Al-Furqon. Saat itu, sejumlah jamaat perempuan dan anak masuk ke masjid, berusaha agar masjid tidak ditutup. Namun, hal tersebut sia-sia. Sejumlah perempuan dan anak mengalami kekerasan, hingga kini trauma tersebut terasa. 

Berita yang dilansir di situs warta ahmadiyah (https://wartaahmadiyah.org/kronologis-penyegelan-masjid-al-furqon-kampung-gadel-desa-kersamaju-cigalontang-kabupaten-tasikmalaya.html) penyegelan dilakukan pada 2016, lalu. Kejadiaan tersebut, ada perasaan marah dan kesal dalam dirinya saat penyegelan masjid. Namun, dirinya mengingat petuah dari orangtuanya dan Ketua Laznah Imaiyah. 
”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan lagi. Kita harus tetap berbuat baik,” terang Teh Erna menirukan pesan dari dari kedua orangtuanya. 

Satu, dua tahun berlalu. Sejumlah anggota ahmadiyah berusaha membuka masjid tersebut, namun ternyata nihil. Di sisi lain, sejumlah jemaat Ahmadiyah mulai melakukan pendekatan kepada sejumlah tokoh penting di desa, tokoh agama dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang digelar Desa. Bahkan, jemaat Ahmadiyah membantu pembangunan masjid NU di Desa Kersamaju. Namun, hal tersebut tidak membuahkan hasil maksimal untuk masjid Al-Furqon. 

Pada 2023, Teh Erna ikut dalam training RSD yang digelar oleh AMAN Indonesia. Setelah selesai ikut dalam pelatihan, dirinya mulai bertanya tentang metode ini. Bagaimana diterapkan di lingkungannya? Bagaimana cara mempraktikannya? Ada banyak pertanyaan dalam kepala Erna usai pelatihan. Namun, perlahan hilang. 

Jemaat Ahmadiyah Vs Membangun Kepercayaan Sebelum Dialog 

AMAN Indonesia mengumpulkan sejumlah fasilitator yang berasal dari Tasikmalaya pada November 2024, lalu. Saat itu, fasilitator yang hadir melakukan intervensi pembatasan masjid Al-Furqon di Tasikmalaya. RSD fase satu pun dimulai. Sejumlah pendekatan pun dilakukan kembali. Fasilitator yang terdiri dari Teh Istiqomah, Teh Ihah, Mina mulai melakukan pendekatan Ke-NU-an. Suami Teh Istiqomah merupakan pengurus Pagar Nusa. 

Semula warga curiga, jika dialog yang dilakukan memihak kepada Ahmadiyah. Sebelumnya, terdapat organisasi yang masuk di Desa Kersamaju yang terang-terangan memihak Ahmadiyah. Namun, hasilnya nihil. Masjid masih disegel dan jemaat Ahmadiyah tidak bisa menggunakannya. Memasuki fase satu RSD, teh Erna pun melakukan sejumlah pendekatan kepada warga dan tokoh-tokoh penting di desa. Terutama dalam melakukan profiling, dirinya gunakan untuk semakin mendekati sejumlah tokoh. Para tokoh agama sangat menentang keberadaan Ahmadiyah. 

Para fasilitator pun melakukan pemetaan terhadap para tokoh yang ada. Masyarakat pun sepakat untuk digelar dialog. Ada empat kelompok yang menggelar RSD, yaitu kelompok pemuda, internal JAI, tokoh desa dan perempuan. Hal yang berat pada RSD fase pertama adalah pemulihan trauma masih belum terjadi. Para perempuan menceritakan trauma yang dialami. Mendengarkan kata aparat, jemaat perempuan Ahmadiyah selalu gemetar. 

Adanya dialog menjadi ruang mengetahui pengalaman perempuan atas kejadian kelam penyegelan Masjid Ahmadiyah. semua peserta dari kelompok perempuan mengetahui hal tersebut, selama ini hal tersebut terus dipendam. Berharap bisa menguap begitu saja trauma yang dirasakan, nyatakan trauma tidak bisa hilang begitu saja. 

Singkat cerita, dialog RSD fase pertama selesai. Paska dialog, ibu-ibu jamaah Dialog dilibatkan dalam agenda Desa Kersamaju. Mulai dari kegiatan posyandu, pengajian, PKK dan lainnya. Sedangkan Teh Erna juga terlibat dalam KPPS. Kemudian, saat ini diperlukan pemutahiran data untuk pilkada. Dia memanfaatkan ruang tersebut untuk berinteraksi dengan masyarakat luas dengan tugas tersebut. Alasannya sederhana, tidak ada pandangan negatif terhadap ahmadiyah melalui dirinya. 

Saat wawancara dirinya merefleksikan jika RSD yang telah dilakukan mengetahui pandangan masyarakat terhadap Ahmadiyah. Dirinya menegaskan, Saat ini warga menyadari jika jemaat Ahmadiyah selalu memberikan uang iuran lebih, untuk agenda apapun. Hal tersebut diungkap oleh perempuan-perempuan yang mengikuti RSD. Cerita kebaikan tersebut, saat ini mulai tersebar ke banyak orang dari mulut ke mulut. 

Dirinya mengakui, hal tersebut dilakukan oleh perempuan. Jika bukan perempuan, cerita sederhana tersebut tidak akan diketahui oleh banyak orang orang. Bahkan, masyarakat tidak memahaminya. Dari hal tersebut, dirinya menambah keyakinan jika perempuan menjadi elemen penting untuk menyebarkan perdamaian dan kebaikan. 

”Melalui RSD, bicara dari hati ke hati dan mengeluarkan pengalaman perempuan, menjadi hal valid dan tidak bisa disalahkan. Hal itu menjadi sangat penting,” ungkapnya. 

Dari pengalaman tersebut dirinya semakin yakin jika suara perempuan bukan lagi suara semu untuk membangun perdamaian. Perempuan memiliki karakter unik dan itu hanya dimiliki oleh perempuan. Dalam kesempatan yang sama, dirinya berharap ada banyak anggota jemaat yang memiliki hal yang sama. 

(Bersambung…)

Anda bisa membaca kisah Erna Rosalia selengkapnya di buku “Perempuan-Perempuan Penggerak Perdamaian” yang diterbitkan oleh Fatayat NU Jawa Barat & JISRA Indonesia pada Desember 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published.