Sekolah Perempuan sebagai Lokomotif Transformasi

Selain menjadi kelompok rentan dan korban, perempuan juga memiliki genuinitas sebagai agen perdamaian. Dari pengalaman lapangan kami, program Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di 7 provinsi mampu mendorong lahirnya perempuan pemimpin baru yang memiliki inisiatif membangun ketahanan komunitas dari radikalisme dan kekerasan berbasis agama dan gender. Meminjam model transformasi konflik oleh John Paul Laderach, dengan meletakkan Sekolah Perempuan sebagai inkubator kepemimpinan perempuan telah mendorong pada rantai  perubahan/transformasi baik di level individu, relasi, struktural dan kultural.

Transformasi Individu diwujudkan dengan memperkuat kesadaran dan berfikir kritis atas persoalan sosial, ekonomi, budaya dan politik, juga ekologi. Kelas belajar di Sekolah Perempuan telah memberikan ruang berbagi pengetahuan antar perempuan dan keluarganya serta menambah asupan pengetahuan terkait gender, bina damai, transformasi konflik, serta berbagai isu terkini seperti halnya radikalisme dan ekstremisme. Metode andragogi yang diterapkan mampu mengikis sentralisme pengetahuan yang tidak hanya melekat pada sosok guru atau tokoh saja, namun juga merekognisi dan menghadirkan pandangan dan pengalaman perempuan terkait dengan konflik dan perdamaian.

Buah dari Sekolah Perempuan ini adalah menguatnya kesadaran kritis perempuan akan hak-hak perempuan, sehingga mereka mampu mengklaim hak-hak mereka. Dari pengamatan dekat kami, mereka kini lebih aktif dan asertif mengkampanyekan relasi adil gender keluarga, menyebarkan ajaran dan nilai agama yang moderat, dan menyuarakan kebijakan yang ramah perempuan. Hal lainnya yang terlihat adalah militansi perempuan sebagai agen perdamaian (peacebuilder) untuk melindungi perempuan lainnya dan kelompok minoritas dari kekerasan.  Hal ini tidak terlepas dari transformasi perempuan korban (seperti konflik sosial di Poso) menjadi pembuat perubahan, yang mengambil peran kepemimpinan pasca konflik.

Transformasi relasional dibangun melalui penguatan institusi keluarga. Transformasi dalam diri perempuan menjadikannya lebih mudah dan bisa sangat cepat membuka pintu-pintu transformasi di keluarga. Di keluarga, ibu-ibu anggota SP bukan saja membuka dialog dengan suami tentang berbagi peran tetapi secara pelan-pelan mensosialisasikan nilai yang diajarkan di SP sehingga mendorong keinginan para anak dan suami untuk terpicu belajar. Fondasi relasi gender dan relasi kuasa yang lebih adil dan setara, khususnya dengan orang terdekat seperti suami atau pasangan mulai terbangun.

Transformasi Struktural dimaksudkan untuk memperkuat komitmen pemerintah desa dalam mencegah kekerasan melalui

institusionalisasi Sekolah Perempuan, meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan serta mendorong lahirnya kebijakan atau program yang sensitive gender dan perdamaian. 16 dari 39 Sekolah Perempuan mendapat pengakuan dari pemerintah desa melalui Surat Keputusan. Transformasi di pejabat pemerintahan desa ini dimanfaatkan oleh perempuan di desa untuk mengorganisir diri, memperkuat kesadaran hak politik dan mengartikulasikannya dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat desa bahkan kecamatan. Hasilnya, beberapa pemerintah desa di wilayah dampingan mengalokasikan anggaran desa untuk mendukung program yang dimotori Sekolah Perempuan.

Transformasi kultural dibangun di komunitas selain mendorong terciptanya mekanisme penyelesaian masalah, juga mampu mendorong budaya peduli dan cinta (caring and loving) kepada tetangga sehingga bisa merespon persoalan-persoalan KDRT maupun masalah lainnya seperti intoleransi, konflik karena pemilu dan pemilukada, serta merespon bencana yang dialami komunitasnya sendiri dan orang lain. Banyak dari SP menjadi tempat healing bagi perempuan korban kekerasan. Selain itu, Sekolah Perempuan menginisiasi ruang-ruang perjumpaan antar perempuan melalui program pertanian organik, forum anak, sanggar batik, pengajian, kampung ramah lingkungan, dan perayaan hari besar nasional. Di Poso, Sekolah Perempuan menghidupkan kembali budaya saling kunjung dalam perayaan hari besar keagamaan, setelah sekian lama redup karena konflik. Sampai saat ini, Sekolah Perempuan menjalin kerjasama dengan 33 lembaga atau komunitas yang memiliki visi sama untuk isu perempuan, toleransi dan perdamaian.

Sebagai konselor, suatu waktu saya mendapat tugas untuk menemui orang tua dari anak balita korban perkosaan. Keluarga dan tetangga kesal karena mereka tidak mau melaporkannya. Ketika bertemu orang tua korban, saya menggunakan cara RSD untuk berdialog dengan mereka, terutama untuk mendengar curhat mereka. Awalnya agak susah (berdialog) dengan mereka, dan selalu diulang-ulang karena mereka sangat shock. Namun akhirnya saya bisa menggali keinginan mereka dan menemukan solusi untuk tindak lanjut kasus ini

AnAn Yuliyanti, tokoh perempuan, Konselor P2TP2A Kabupaten Tasikmalaya.