Membangun Resiliensi Masyarakat Melalui Peran Perempuan

Keynote Speech Country Representative The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia), Dwi Rubiyanti Kholifah.

Pidato kunci ini disampaikan pada pembukaan Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2022 yang diselenggarakan oleh USAID-MADANI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan FHI 360 pada 30-31 Maret 2022 dengan tema “Memajukan Demokrasi yang Inklusif di Indonesia”.

 

Membangun Resiliensi Masyarakat Melalui Peran Perempuan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, dan Salam kebajikan.

Yang saya hormati,

Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Republik Indonesia

Bapak William Slater, Acting Mission Director of USAID Indonesia

Para Narasumber, serta Perwakilan masyarakat sipil Indonesia yang saya kagumi.

Baru saja kami, AMAN Indonesia merayakan lima belas tahun dalam membangun resiliensi masyarakat dari konflik dan radikalisme melalui peran perempuan. Kami sangat bangga dalam usia yang belia, AMAN Indonesia telah melayani Ibu Pertiwi di 19 provinsi, mendukung dan menemani 174 mitra di daerah, nasional dan internasional. Mandat utama kami adalah memperkuat perspektif perempuan, perdamaian dan keamanan, serta menjaga ruang sipil tetap ada dalam membangun keterlibatan CSO dan perempuan dalam pengambilan keputusan di daerah. Kami sangat menyadari sepenuhnya sebagai organisasi yang memiliki karakter gerakan, kerja-kerja masyarakat sipil haruslah solid, terkoordinasi, inovatif dan memiliki kebaruan-kebaruan dalam strategi, pendekatan maupun narasi-narasi untuk memperluas kolaborasi antara pihak.

Dalam kesempatan ini, izinkan saya berbagi refleksi saya sebagai women peacebuilders, memastikan pendekatan peacebuilding ter-mainstream-kan dalam gerakan CSO, dan membuka ruang-ruang kemungkinan untuk membangun pondasi toleransi, perdamaian dan keadilan gender di masyarakat, dan pada saat yang bersamaan mengembalikan supremasi masyarakat sipil yang memiliki watak gerakan kolektif. Maka, sudah selayaknya setiap langgam gerak masyarakat sipil haruslah memiliki nyawa kolektivitas dan menjaga civic space di Indonesia tetap ada dan sehat. Meskipun tidak sempurna.

Refleksi pertama saya, lima belas tahun bekerja di 41 komunitas bersama lebih dari 2000 perempuan lintas iman, mengajarkan kepada saya model transformasi sosial oleh perempuan. Model pendidikan kritis perempuan yang dijalankan oleh gerakan perempuan, seperti sekolah perempuan, sekolah HAM, sekolah Pekka dan yang lain, AMAN mengembangkan sekolah perempuan perdamaian, sebagai inkubator kepemimpinan perempuan. Ini adalah mesin kader para perempuan yang ingin jadi pemimpin. Pendidikan kritis perempuan telah terbukti berhasil melahirkan pemimpin perempuan akar rumput yang memiliki pemikiran kritis dan karakter welas asih, dan memiliki keterampilan dialog dan mediasi yang handal.

Dari Rohimah di Jakarta Timur dan Odax di Sampang, saya belajar tentang proses transformasi di komunitas yang dimulai dari keluarga. Tidak saja mereka berhasil membangun keluarga ideal di mana kesetaraan gender diadopsi dan dijalankan sebagai nilai baru di keluarga, tetapi mereka telah berhasil membangun imajinasi baru di komunitas tentang keluarga bahagia, di mana nilai baru kesetaraan gender hadir, semua anggota keluarga aktif, bertanggungjawab pada kerja-kerja rumahan. Tauladan ini menjadi kunci trust, acceptance, dan perubahan perilaku komunitas.

Saya semakin diyakinkan tentang makna perdamaian dan alam, ketika Pendeta Wuri dan para ibu di kampungnya, berhasil menyulap lahan-lahan tidur menjadi lahan produktif menghasilkan sayuran organik. Tidak saja merasa bangga karena bangunan ketahanan pangan yang digagas oleh Pendeta Wuri terlihat bertumbuh tetapi kebun organik menjadi medium untuk mengurai dendam, prasangka, dan rasa tidak percaya Muslim dan Kristiani yang hadir, digagas dan dikelol oleh masyarakat itu sendiri.

Pendekatan peacebuilding, dengan nilai-nilai welas asih, juga dikembangkan oleh Novi Jamhuri, Ketua Sekolah Perempuan Betania Poso, untuk membuka sekat-sekat pemisah antara mantan narapidana terorisme dan keluarganya dengan masyarakat desa. “setiap manusia bisa salah dan setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua”. Novi terlibat dalam ruang-ruang pembauran para istri dan anak-anak mantan napiter di Poso. Mereka yang terkunci hatinya oleh doktrin agama “sami’na wa’athokna” gampang mengkafirkan orang lain akhirnya luluh dan berbaur dengan komunitas setelah program “mendekatkan pasar ke dapur Umi” terlihat manfaatnya. dilengkapi dengan hadirnya program literasi anak, proses reintegrasi di Dusun Tamanjeka menjadi lebih komprehensif. Kini, kamipun mulai mengintegrasikan pendekatan Restorative Practice dan dialog dalam kerja besar reintegrasi sosial bagi para mantan napiter dan pendukung ISIS, untuk memperkuat resiliensi masyarakat, termasuk mendorong suksesnya reintegrasi.

Refleksi Kedua, masyarakat sipil adalah penjaga civic space yang sehat. State of Civil Society Report 2020 , temuan monitoring CIVICUS di 196 negara melalui online platform, menemukan bahwa hanya 3 persen saja masyarakat dunia yang tinggal di sebuah negara di mana kebebasan sipil berasosiasi, berkumpul dan berekspresi dijamin. Kami sadar sepenuhnya bahwa menjaga ruang sipil dalam alam demokrasi di Indonesia tidak mudah. Khususnya dalam mengawal sebuah kebijakan tetap dijalankan dengan kehadiran penuh masyarakat sipil, khususnya kelompok perempuan dan minoritas.

Ada dua hal penting dalam bicara tentang civic space di Indonesia yang AMAN bersama dengan jaringan masyarakat sipil telah melakukan sejumlah terobosan. Yang pertama, kolaborasi formal pemerintah dan masyarakat sipil. Ini merupakan kerjasama formal dengan penandatanganan MoU  untuk mempermudah proses asistensi penurunan kebijakan di daerah, membuka ruang pertukaran informasi, serta iklim kerjasama yang setara.

Yang kedua, membangun mekanisme kerja jaringan perlu mengedepankan pendekatan impact oriented (berfokus pada dampak), sebuah pendekatan membangun sinergi dan kolaborasi dalam jaringan. Besar bersama, menang bersama.

Saya sangat percaya bahwa sebuah perubahan terjadi karena kontribusi dan atribusi banyak aktor. Kekuatan masyarakat sipil adalah respon cepat, mengakar di masyarakat, maka dari itu mereka sangat dipercaya. Tetapi tidak mudah mengenalkan tradisi bekerja secara kolaboratif dan saling membesarkan. Bersama dengan mitra Working Group on Women and Preventing and Countering Violent Extremism (WGWC), kami membangun pola kerja yang saling menguntungkan, dengan memperjelas peran CSO di nasional dan daerah, mengutamakan upaya membangun resiliensi daerah, di mana CSO daerah ada di garda depan, dan ruang sipil tetap sehat terjaga.

Refleksi ketiga, menciptakan mekanisme formal keterlibatan CSO dengan pemerintah. Ruang sipil memang ada. Tradisi pelibatan masyarakat sipil dalam pembentukan kebijakan dan intervensi atau pun monitoring mungkin telah banyak didokumentasikan. Tetapi ini semua masih terjadi atas dasar kedekatan personal. Melalui Kerjasama Kemenko PMK dan KPPPA, kami membangun pelibatan masyawakat sipil dana Pokja RAN P3AKS dan melalui Sekretariat Bersama RAN PE, kami telah merancang bersama BNPT sebuah ruang sipil bernama Pokja Tematis , menjadi bagian formal Sekber yang akan membantu maintreaming gender dalam implementasi RAN PE.

Di tengah pesimisme kerja bareng dengan pemerintah, kami melihat ada sejumlah perubahan positif dengan hadirnya pemimpin-pemimpin muda di Kementerian dan Lembaga. Mereka memiliki perspektif terbuka, mudah diakses dan bersedia membangun bersama ruang sipil yang sehat. Kita butuh menginstitusionalkan kerja sama berorientasi pada dampak.

Akhirnya, saya harus menutup refleksi saya dengan optimisme tentang kekuatan masyarakat sipil bisa digerakkan untuk membendung arus politisasi dan komersialisasi agama yang difasilitasi oleh media sosial. Kekuatan para ulama perempuan yang memiliki perspektif gender dan inklusif, jumlahnya berlimpah dan telah berkontribusi dalam kerja-kerja membangun toleransi.

Kehadiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memberikan harapan baru tentang kerja cerdas dalam menggunakan tafsir agama yang peka gender dan inklusif. Tetapi juga menawarkan narasi-narasi baru tentang kesetaraan gender dari perspektif Islam yang lebih memperluas keberterimaan di semua kalangan. KUPI sangat layak menjadi konstituen negara dalam bicara Hak-Hak Perempuan dalam Islam.

 

Terima kasih

 

Wasalamu’alaikum wr wb

Shalom, Om Santi santi santi Om.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.